Warta

Kang Said: Paham Aswaja Eksis karena Menghindari Politik Praktis

Kamis, 16 Juli 2009 | 01:27 WIB

Jakarta, NU Online
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) eksis atau masih banyak dianut umat Islam sampai kini karena paham tersebut menghindari politik praktis. Aswaja muncul, sebagaimana dirumuskan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, hanya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.

Demikian dijelaskan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, saat berbicara pada sebuah forum diskusi di Jakarta, Rabu (15/7) kemarin.<>

Tidak adanya perhatian Aswaja pada bidang politik praktis, kata Kang Said—panggilan akrabnya, dapat dibuktikan pada kitab-kitab fikihnya. “Dalam kitab-kitab fikih Aswaja, tidak ada pembahasan tentang kepemimpinan politik,” katanya.

Hal itu berbeda dengan paham Islam lainnya seperti Syiah, Muktazilah dan Khawarij. Pada ketiga paham tersebut, mesti terdapat sedikit atau banyak konsep atau pembahasan tentang politik praktis, terutama konsep “imamah” atau kepemimpinan politik.

“(dalam paham) Syiah, Muktazilah atau Khawarij, pasti ada satu pasal sendiri yang membicarakan imamah dalam arti politik. Kalau Aswaja, ada konsep imamah tapi sebatas dalam imam solat,” papar alumnus Universitas Ummul Qura, Mekah, Arab Saudi, itu.

Namun, imbuhnya, Aswaja ternyata berjasa besar dalam mengembangkan peradaban Islam. Peran Aswaja juga tak bisa dikecilkan dalam upaya menjaga kemurnian ajaran Islam. Sebab, tidak ada kepentingan politik praktis dalam perjalanannya. “Maka, kemudian, lahirlah ulama yang sufi, zahid, seperti Al Ghazali,” tandasnya.

Menurut Kang Said, Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “pendiri” Aswaja, memang sengaja meniadakan bidang politik praktis. Tujuannya, ‘mengendalikan’ pemikiran umat Islam agar menjadi umat yang moderat, tidak liberalis maupun fundamentalis.

Istilah “wal Jamaah”, katanya, selain bermakna golongan yang mengikuti Sunnah Rasul, juga berarti paham yang memberikan bimbingan atau tuntunan pada umat, masyarakat umum yang kebanyakan orang awam.

“Jadi, sejak awal, Aswaja itu untuk masyarakat umum. Sederhananya, kalangan rakyat jelata, masyarakat awam. Kalau Muktazilah, yang tekstual, itu kan untuk elite (kalangan menengah ke atas),” jelas Kang Said. (rif)


Terkait