Warta

Kang Said: Pesantren Mengemban Misi Sebagai Penengah

Sabtu, 22 Oktober 2005 | 04:51 WIB

Jakarta, NU Online
Pesantren adalah satu-satunya tempat yang diharapkan dapat mengemban misi sebagai ummatan wasathan atau umat penengah yang menjadi perantara berbagai elemen masyarakat. Saat ini, Indonesia tidak sekedar mengalami kebangkrutan ekonomi tetapi juga kebangkrutan modal sosial (social capital) sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kurang santun bahkan bringas. Oleh karena itu pesantren harus konsisten mengemban perannya.

Demikian disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Agil Siradj dalam acara buka bersama dan dialog antar umat beragama yang diadakan oleh Forum Mahasiswa Alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri (FORMAL) di Pondok Pesantren Al-Barkah, Serpong, Tangerang, Banten, Jumat (21/10). Dialog bertema “Pesantren dan Tradisi Toleransi antar Umat Beragama.”

<>

Merurut Kang Said (panggilan akrab  KH. Said Agil Siradj), menjadi ummatan wasathan yang moderat dan memegang peran sebagai umat penyeimbang membutuhkan keuletan mengingat banyaknya tantangan yang ada.

“Posisi tengah-tengah itu biasanya mendapatkan tantangan dari kanan dan kiri. Maka dibutuhkan keuletan dan kesadaran yang terus menerus. Siapa lagi yang diharapkan sebagai penengah. Tidak ada sejarahnya ada konflik di pesantren atau antar pesantren,” kata alumni senior Pondok Pesantren Lirboyo itu.

Dalam kesempatan itu Kang Said juga mengampanyekan kembali semangat beragama. Menurutnya, kebencian terhadap agama, kepercayaan lain merupakan salah satu contoh ketidakfahaman dalam beragama. “Saya tidak setuju fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme,” kata Kang Said.

Hadir dan sebagai pembicara dalam acara dialog dan buka bersama itu, antara lain, Aloisius Hadi Nugroho dari Katholik dan Jayang Rana Auna Wijaya alias Pak Ong dari Konghucu.

Sementara itu tokoh masyarakat Banten Muchtar Mandala dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran rohaniawan dalam mengatasi dampak negatif globalisasi dan revolusi teknologi komunikasi. Dampak negatif itu misalnya semangat konsumerisme dan ketergantungan yang berlebihan terhadap berbagai produk luar negeri.

 “Rohaniawan dan para pemimpin agama hendaknya mengasuh generasi bangsa dari dampak negatif globalisasi dan revolusi teknologi komunikasi. Kalau tidak kita akan selamanya jadi sapi perah dari para pengusaha global,” kata Muchtar. (anm)


Terkait