Warta

Karakter Pesantren Tradisional Harus Dipertahankan

Senin, 14 November 2005 | 05:29 WIB

Jakarta, NU Online
Akhir-akhir ini pesantren santer dibicarakan di media massa. Satu sisi posisi pesantren dalam diskursus "politik kebudayaan" sangat istimewa karena mempunyai karakteristik khas yang diyakini mampu menjadi benteng utama dalam menghadapi arus negatif globalisasi. Di sisi lain pesantren belakangan ini dicurigai sebagai salah satu pusat penggemblengan para teroris, terutama setelah Wapres Jusuf Kalla pada pertengahan bulan lalu menyatakan perlunya pengawasan intesif terhadap pesantren.

Berita kedua itu sempat membuat terkejut kalangan pesantren. Namun minat dan antusias masyarakat pada pesantren, terutama pesantren tradisional (salaf), yang belakangan ini menurun tidak terkait sama sekali dengan isu terorisme.

<>

Hal-hal tersebut mengemuka dalam acara halal bihalal kiai, santri dan tokoh masyarakat yang diadakan oleh santri dan alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri se-Jabodetabek di Islamic Centre Bekasi, Sabtu (12/11). Hadir dalam acara itu pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo KH. Imam Yahya Mahrus, Ketua Tanfidziyah NU Cabang Bogor KH. Abdul Rochim, para tokoh masyarakat dan wakil walikota Bekasi, beberapa alumni Lirboyo seperti KH. Abdul Ghofur, KH. Fadloli el-Muhir yang juga Ketua Forum Betawi Rembug (FBR), dan beberapa alumni yang saat ini menduduki kursi DPRD atau fungsionaris partai-partai politik Jabodetabek, serta para alumni dan santri lainnya.

Menurut KH. Abdul Rochim, tokoh NU dan pengasuh Pondok Pesantren Auliya Bogor, turunnya minat dan antusias masyarakat terutama Jabotabek terhadap pesantren disebabkan oleh arus perubahan pola hidup masyarakat ibu kota yang semakin tanpa kontrol dan tak terkendali.

"Fenomena angka santri pesantren yang merosot terutama pesantren-pesantren yang terletak di kawasan barat Cirebon dan Jabodetabek tidak terkait isu terorisme. Kenyataan ini sudah terjadi sejak lama. Hal ini karena sejarah klasik perjalanan dan dakwah wali songgo dulu yang lebih berpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu, yang terpenting dari kenyataan merosotnya jumlah santri Jadebotabek saat ini adalah pengaruh perubahan pola hidup masyarakat ibu kota. Orientasi para orang tua dalam mendidik anak pun sudah beda," kata Kiai Abdul Rochim saat memberikan sambutan atas nama wali santri.

Meski demikian, menurutnya, pesantren sebagai institusi pendidikan tidak perlu mengikuti trend masyarakat ibu kota terutama dalam model pembelajaran dan pola hubungan kiai dan santrinya, guru dan murid. "Pesantren saya juga belajar bahasa Arab, Inggris, dan keterampilan lainnya, tapi karakteristik salaf tetap ada," katanya.

KH. Imam Yahya Mahrus menegaskan, fungsi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah untuk mendidik generasi secara lahir batin. Lebih dari soal pendidikan dan keterampilan, menurutnya, lelaku yang dijalani di pesantren tradisional melatih para santri untuk menghayati inti sari ajaran agama Islam yang saat ini sering disalahfahami. Selain melatih kemandirian, pesantren juga membenahi prilaku dan menata moral.

"Makanya model pesantren salaf seperti Lirboyo tetap harus dipertahankan. Kita saat ini sedang sakit dan dilanda penyakit. Para pemimpin bentrok sendiri-sendiri. Yang dari PKB, PPP sampai Golkar. Kita juga kena narkoba dan isu burung flu," kata Kiai Imam Yahya mencontohkan.

Lebih lanjut, dalam acara halal bihalal itu Kiai Imam Yahya mengajak para alumni dan santri memperluas makna ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh (al-i'tishom) pada tali agama Allah dan larangan bercerai berai (Surat Ali Imran [3]: 103, red). Ayat ini biasa dijadikan rujukan dalam setiap acara halal bihalal pada musim lebaran. Menurutnya, ayat itu juga bermaksud memerintahkan umat Islam untuk membenahi dan memperkuat sistem dan jaringan pendidikan dan perekonomian.

Kiai Abdul Rochim menambahkan, organisasi-organisasi alumni pesantren yang akhir-akhir ini semakin solid sedianya difungsikan lebih maksimal.

"Organisasi alumni pesantren-pesantren punya potensi pergerakan yang kuat. Ke depan harus ada sentrum yang jelas, misalnya difokuskan pada soal perekonomian. Organisasi dan jaringan pesantren akan semakin kuat kalau sudah menasional, dan harus diaktifkan oleh orang-orang pesantren sendiri karena hanya orang pesantrenlah yang tahu pesantren," kata Kiai Abdil Rochim usai acara. (anm)

 


Terkait