Warta

Kehidupan Penggarap Lahan dan Buruh Tani di Sumedang

Rabu, 4 Mei 2011 | 10:30 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr. KH. Said Aqil Siroj di awal tahun ini melontarkan fakta sosial ke beberapa media tentang kemiskinan masyarakat yang masih tampak meluas. Sementara Pemerintah menyampaikan angka fantastis pembiayaan program pengentasan kemiskinan.

Papatan Kang Said ini selaras dengan hasil riset Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang tingkat kesejahteraan petani. Riset dilakukan selama Januari-Februari 2011, dengan lokasi Sumedang (Jawa Barat), Demak, Temanggung (Jawa Tengah), serta Malang dan Pamekasan (Jawa Timur).
/>
Pengumpulan data melalui wawancara, focus group discussion, pengamatan, dan studi dokumen. Masyarakat petani yang diteliti meliputi petani pemilik lahan dan buruh. Sedangkan ragamnya meliputi petani tebu, padi, tembakau, kopi, garam, jagung.

Fakta petani padi di Sumedang Jawa Barat, Jajang Nurahmat misalnya, menyewa lahan seluas 300 bata dengan biaya 6 kuintal padi atau Rp. 2,4 juta. Biaya tanam sekitar Rp. 2 juta. Hasil panen padi kira-kira Rp. 8 juta. Total keuntungan panen padi Rp. 4 juta. Penghasilan itu tidak mencukupi kebutuhan bulanannya yang kurang lebih Rp2juta. Maka Jajang Nurahmat pun harus menjadi buruh traktor maupun hutang.

Buruh tani padi lebih mengenaskan. Honor buruh laki-laki Rp. 30 ribu/ hari; sedangkan perempuan Rp. 20 ribu/ hari. Honor tersebut masih dikurangi biaya makan sehingga penghasilan bersih Rp. 600 ribu/ bulan. Ongkos petik padi tidak dibayar dengan uang melainkan padi, dengan perbandingan 7:1kg (7 kg untuk pemilik lahan, 1 kg untuk buruh).

Penghasilan ini tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup. Mereka pun hanya bisa bekerja maksimal 4bulan/ tahun. Sisanya ia mencari kayu bakar untuk dijual dengan harga Rp. 15 ribu/ ikat. Upaya lainnya berhutang Rp. 200.000/ bulan yang dibayar pada saat masa panen. Pengeluaran terbesar buruh tani dalam sebulan antara Rp. 200—500ribu.

Petani tembakau di Sumedang lebih diuntungkan. Suhanda misalnya, Lahan seluas 100 bata dengan biaya Rp1,5 juta rupiah menghasilkan Rp. 3,5 juta rupiah. Tanaman padi dari lahan seluas itu hanya menghasilkan Rp1,5juta rupiah (5 kuintal). Penghasilan tembakau memang besar hanya saja dapat dipanen setahun sekali. Karena itu sisa waktu Suhanda dimanfaatkan menjadi tukang kayu bangunan.

Prosentase biaya tanam tembakau di Sumedang pada lahan 1ha tidak berbeda jauh dengan biaya tanam padi pada lahan yang sama. Tetapi harga jual lebih besar tanaman tembakau. Resiko tanam tembakau lebih kecil ketimbang tanaman padi. Dari siklus delapan bulanan, hanya sekali harga tembakau jeblok, selebihnya cukup stabil. Jeblok dalam artian masih dapat kembalian modal.

Menurut Andi Rahman Alamsyah, Direktur Riset LTN PBNU, secara umum para petani di Sumedang masih memerlukan pekerjaan sampingan untuk di luar bidang pertanian untuk menambah pendapatannya.

“Idealnya para petani harus konsentrasi di pertanian. Namun keterbatasan infrastruktur pertanian memaksa mereka untuk beraktifitas juga di luar pertanian,”  tandas Dosen FISIP Universitas Indonesia tersebut. (bil)


Terkait