Nahdlatul Ulama (NU) yang mewarisi ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) dengan karakteristiknya yang moderat, balance, dan toleran (tawassut, i'tidal, tasamuh) serta mampu bersemai dengan ajaran, tradisi, dan kearifan lokal adalah representasi dari corak dan "madzhab" Islam ala Indonesia.
Demikian ditegaskan oleh ketua PWNU Sulawesi Selatan (Sulsel) Dr. KH. Mustamin Arsyad MA dalam dialog umum dan silaturahim dengan warga PCINU Mesir pada Selasa (28/7) malam kemarin.<>
"NU adalah cerminan dari Islam Indonesia itu sendiri," terang Kyai Arsyad yang juga mantan aktivis KMNU Mesir di era 90-an sebagaimana dikabarkan kontributor NU Online Mesir Hidayat Sodikin.
Dengan prinsip hendak merepresantisan Islam sebagai agama dan ummat yang "wasathan" dan rahmatan lil alamin, ajaran dan tradisi NU pun pada akhirnya mampu mengakar urat dalam kehidupan Muslim Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadikan NU sebagai ormas Islam terbesar di tanah air.
Namun menurut Arsyad, saat ini NU tengah menghadapi banyak tantangan, baik dari dalam atau pun dari luar. Dari dalam, misalnya, NU belum memiliki sistem pengkaderan yang mumpuni. Padahal, kaderisasi inilah kunci utama estafetisitas sebuah organisasi.
"Bahkan kita pun belum memiliki sistem pendataan anggota yang baik," terang dosen Universitas Muslim Indonesia Makassar ini.
Karena rapuhnya sistem kaderisasi inilah, wajar jika banyak dari kader dan warga NU yang "menyeberang" ke organisasi-organisasi lain. Hal ini bukan berarti buruk, hanya saja sangat disayangkan.
Selain itu, keterlibatan sejumlah kader bahkan para sesepuh NU dalam intrik politik turut menjadi permasalahan tersendiri bagi eksistensi NU. Keterlibatan tersebut terbukti menyisakan banyak masalah dan luka.
"Bukan berarti ikut politik itu tak boleh. Tapi ya harus profesional lah. Sebab kalau terbukti tak profesional dan gagal, itu yang justru akan memalukan, bukan sekedar perseorangan tokoh, tetapi juga NU akan terbawa-bawa," jelas doktor bidang tafsir Universitas Al-Azhar ini.
Sementara itu, faktor luar yang menjadi kendala NU adalah kian derasnya arus pemikiran dan madzhab baru dalam kancah keislaman Indonesia.
"Ada dua aliran ekstrim yang mengancam NU, yaitu ekstrim kanan yang direpresentasikan kalangan Islam radikal, dan ekstrim kiri yang direpresentasikan kalangan Islam liberal."
Untuk itulah, kembalinya menguhkan pengkaderan juga terkait usaha membentengi warga NU dari problem-problem eksternal ini. "Nilai-nilai dan ajaran Aswaja perlu lebih dikukuhkan lagi dalam benak warga NU."
Selain membincang tentang ke-NU-an, Kyai Arsyad juga bercerita sekaligus bernostalgia tentang masa-masa menjadi mahasiswa dan aktivis KMNU Mesir dulu.
KH. Mustamin Arsyad menggondol gelar doktor dari Universitas Al-Azhar pada bidang tafsir di tahun 2000. Disertasinya mengupas tentang Manhaj Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani fi at-Tafsir, yaitu metodologi tafsir Syaikh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya Murah Labid.
Turut hadir dalam dialog dan silaturahim ini beberapa sesepuh dan pengurus PCINU Mesir, antara lain rais syuriah PCINU Mesir KH. Dr. Fadhlan Musyafa, wakil rais syuriah KH. Muhammad Saifuddin MA, Gus Abdul Ghafur Maimoen MA, H. Ramli Syarqawi MA, dan lain-lain. (euy)