Para kiai pondok pesantren dan ulama se-Kabupaten Cirebon, berkumpul di Pondok Pesantren Khatulistiwa, Kecamatan Gempol, Cirebon, Jawa Barat, Ahad (25/5) kemarin. Mereka menyerukan kepada warga Nahdlatul Ulama (NU) agar mewaspadai maraknya gerakan Islam berhaluan politik transnasional (gerakan politik antar-negara).
Selain itu, mereka juga meminta kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) gerakan keagamaan baru dari luar Islam yang berupaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara Islam dengan sistem khilafah (pemerintahan Islam).<>
“Sebab mereka yang anti terhadap tradisi (keagamaan) NU itu melakukannya melalui berbagai cara, misalnya, dengan mensyurukkan, memurtadkan dan mengkafirkan budaya keagamaan NU,” terang Pengasuh Pesantren KH Syarif Utsman Yahya, Kempek Ciwaringin, seperti dilaporkan Kontributor NU Online, Ali Musrsyid.
Menurut Kiai Syarif—begitu panggilan akrabnya—umat Islam harus menyatukan langkah dan gerak dalam menghadapi kenyataan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Ia menjelaskan, tradisi keagamaan NU yang berdasar paham Ahlussunnah wal Jamaah sudah menyatu dengan kebudayaan masyarakat. Karena itu, tegasnya, pihak luar harus menghargai perbedaan dan jangan merasa pahamnya sendiri yang paling benar.
Pertemuan itu diikuti sejumlah kiai dan pimpinan pondok pesantren. Di antaranya, KH Syarif Hud Yahya (Ciwaringin, Cirebon), KH Rahmatullah dan KH Mughni (Tegal), KH Mansur (Gegesik), KH Haris Jauhari (Susukan), KH Ibrahim Rozi (Weru), KH Zahid Hidayat (Plered), KH Doim (Kapetakan), KH Hamidin (Gunung Djati), KH Mahfudz Bakri (Kasepuhan) KH Faizin Adnan dan KH Zuhdi (Losari), KH Hasanuddin Kriyani (Buntet) dan KH Ridwan Sufyan (Pabedilan). (rif)