Jakarta, NU Online
Pesantren yang tumbuh dan dikembangkan oleh para kiai dan ulama memiliki banyak ragam. Selain pesantren umum yang mengajarkan ilmu-ilmu fikih, tafsir, hadist dan lainnya, terdapat pula pesantren yang lebih spesifik berupa pesantren Al-Qur’an atau tempat mempelajari dan menghafal kitab suci Al-Qur’an.
Sejauh ini, pesantren-pesantren Al-Qur’an telah melahirkan puluhan penghafal qur’an yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun sayangnya pengetahuan para penghafal (hafidz atau hafizhdoh) tersebut baru berbasis hafalan.
<>Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat, kurikulum pengajaran yang saat ini masih berbasis hafalan saja perlu dikembangkan lagi. “Mereka perlu memahami makna teks sehingga bisa menyampaikan isi Al-Qur’an kepada masyarakat,” tuturnya dalam perbincangan dengan NU Online di kantor PBNU, Jakarta, Jum'at (18/5).
Pengasuh Ponpes Al Hikam Malang tersebut mengusulkan agar pesantren-pesantren tersebut manambahkan materi seperti bahasa Arab, tafsir, asbabun nuzul (penjelasan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat tertentu), ayatul ahkam (berkaitan dengan hukum), ayat-ayat sosial, ayat-ayat tentang alam dan teknologi sampai dengan penafsiran Al-Qur’an dalam dunia kontemporer.
“Ini perlu agar puluhan ribu hafidz dan hafidhoh tidak dalam keadaan statis, hanya menunggu undangan hifdzul Qur’an,” paparnya.
Dalam struktur NU, perangkat organisasi yang mengurusi para penghafal dan penafsir Al-Qur’an adalah Jamiyyatul Qurro wal Huffadz (JQH). Lembaga ini telah mengembangkan semaan Al-Qur’an yang secara rutin diselenggarakan di berbagai tempat. Sejumlah qori dan qoriah yang tergabung dalam lembaga ini juga telah meraih prestasi gemilang sampai ke tingkat internasional. (mkf)