Jakarta, NU Online
Sekali lagi, langkah maju ditempuh Nahdlatul Ulama (NU). Melalui dua lembaganya, yakni Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPK) NU dan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini menggelar bahtsul masail (pembahasan masalah) tentang penangulangan bahaya penyakit tuberculosis (TBC).
Acara bertajuk Penangulangan Tuberculosis (TBC) dengan Perluasan Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy (DOTS) yang merupakan hasil kerja sama LPKNU dengan Departemen Kesehatan RI itu digelar selama tiga hari, 16-18 September 2006 di Hotel Sofyan, Jalan Cikini Raya, Jakarta. Hadir pada pembukaan kemarin, Ketua PBNU Rozy Munir.
<>Ketua LPKNU Dr Syahrizal Syarif PhD, usai pembukaan kepada NU Online menjelaskan, acara tersebut pada dasarnya ingin mengetahui bagaimana pandangan Islam dalam melihat penyakit menular-berbahaya tersebut. “Prinsip mudhorot(dampak buruk)-nya bagaimana, harus dilihat. Kemudian bagaimana solusinya?” terangnya.
Senada dengan Syahrizal, Sekretaris LBMNU M Kholil Nafis mengatakan, dalam forum tersebut akan dibahas tentang hakikat penyakit TBC berikut penderitanya dalam Islam. “Misalkan, orang meludah kan sah-sah saja. Tapi bagi penderita TBC, bisa jadi hal itu hukumnya haram, apalagi meludah sembarangan. Karena meludah itu kan bisa menularkan penyakitnya,” terangnya.
Menurut Syahrizal, kegiatan bahtsul masail tersebut merupakan langkah awal. Jika nanti hukumnya sudah ditetapkan, imbuhnya, langkah selanjutnya adalah bekerjasama dengan sejumlah pondok pesantren (ponpes) NU dalam rangka penanggulangan penyakit tersebut di masyarakat. Ponpes berikut para santrinya akan dilibatkan dalam membantu penyembuhan para penderita TBC.
“Pesantren, melalui fasilitas kesehatan yang dimiliki, nantinya bisa menjadi tempat pengobatan bagi para penderita TBC yang berada di sekitar pesantren tersebut. Kemudian, para santrinya, minimal bisa menjadi PMO(Pengawas Minum Obat)-nya,” terang Syahrizal.
Dijelaskan Syahrizal, mengingat upaya pengobatan serta penyembuhan penderita TBC itu tidak mudah, maka di situlah letak peran para santri dalam membantu. “Minimal, pengobatan penderita TBC itu membutuhkan waktu 6 bulan. Dan si penderita itu harus terus dikontrol pengobatannya,” ungkapnya.
Ditambahkan Syahrizal, pihaknya akan melibatkan LPKNU di daerah serta sekitar 27 ponpes NU di Pulau Jawa dan Bali sebagai pilot project dalam program yang akan berjalan selama satu tahun tersebut. Ke-27 ponpes tersebut meliputi 5 ponpes di Riau, 5 ponpes di DKI Jakarta, 5 ponpes di Jawa Tengah, 7 ponpes di Jawa Timur dan 5 ponpes di Bali.
Meski tak menyebut rinci nama-nama ponpes yang akan turut berpartisipasi dalam program itu, namun Syahrizal menyatakan, masing-masing ponpes tersebut nantinya harus memiliki setidaknya lima orang fasilitator yang terdiri dari satu orang dokter dan 4 orang PMO. (rif)