Warta

Mengikuti Upacara Pemakaman di Baqi', Maqbaroh para Syuhada (2)

Senin, 18 Oktober 2010 | 06:11 WIB

Madinah, NU Online
Jalanan ke depan terasa semakin panjang karena semua tubuh yang sedang bergerak, selalu membisu. Tanpa suara, hanya desah dan gumam tertahan. Entah karena malam, medan pasir atau karena tidak ada lampu penerangan, semua memilih berjalan sesuai jalur beton, tidak seorang pun mengambil jalan pintas di antara dua jalur tadi. Ini jelas-jelas berbeda dengan kebiasaan di pemakaman-pemakaman Indonesia, pasti para pelayat sudah berpencar entah ke mana. Tetap hanya ada keheningan dalam gelap, jalan mulai menanjak.

Setelah sampai di tempat yang tinggi dan kerumunan orang sudah mulai renggang, mulailah keadaan menjadi jelas. Orang-orang berjalan beriringan dalam dua barisan memanjang membelah tanah makam yang tak memiliki satu pun lampu permanen. Di kejauhan, tampak tiga buah lampu yang tengah dikerumuni orang-orang. Rupanya kedua jalan ini memiliki cabang yang bertemu di arah tiga lampu tersebut.
;
Ketika masing-masing rombongan telah berbelok ke kiri dan ke kanan mendekati ketiga lampu, maka mereka berpencar berjalan di atas pasir yang bergunduk-gunduk dengan sepasang batu nisan pada setiap gundukannya. Debu pasir pun beterbangan karena dijejak kaki-kaki yang mungkin mulai kelelahan. Orang-orang kemudian kembali berkerumun mengelilingi sebuah lampu listrik yang diletakkan di atas sebatang tiang besi. Jelas lampu ini bukan lampu permanen, lampu ini dengan mudah dapat dipindahkan. Rupanya lampu inilah yang digunakan untuk menerangi tanah galian yang kini dikerumuni oleh seluruh pelayat. Sementara kedua lampu lainnya berasal dari dua buah mobil yang diparkir di cabang jalan yang dilewati dua iring-iringan pelayat tadi.

Jenazah mulai diturunkan dari tandu. Semua orang mengikuti dengan tatapan yang penuh makna, masih tetap dalam kebisuan. Bahkan ketika batu-batu mulai dikumpulkan, komando dan permintaan bantuan hanya diucapkan sepatah-patah kata, seperlunya saja. Seolah semua orang sedang meresapi jasad kaku yang sedang dimasukkan ke liang lahat, sebuah lubang seluas satu kali dua meter dengan kedalaman dua meter.

Di ujung terdalam lubang ini, di arah kiblat lubang, dibuat semacam goa yang menjorok kira-kira setengah meter (50 cm) untuk meletakkan jenazah yang dari tadi diusung beriringan. Jenazah ini diletakkan menghadap ke arah kiblat. Kemudian di arah belakang jenazah, di arah punggungnya. Dalam komando patah-patah tertahan,  disusunlah bebatuan untuk melindunginya dari pasir yang akan segera ditimbunkan oleh para pengiringnya.
 
Segera setelah jenazah cukup terlindung, sekop-sekop segera menjalankan fungsinya, menimbun lobang yang kini telah berisi jenazah dengan gundukan pasir. Para pekerja pemakaman dan anggota keluarga yang turut membantu menimbun seakan tak mau berhenti menimbuni lubang makam dengan pasir. Setelah dirasa cukup rata, ditaruhlah sepasang batu untuk menandai makam. Kembali lubang ditimbuni hingga benar-benar menjadi gundukan yang memiliki dua nissan di atasnya.

Kembali orang-orang terdiam membisu. Beberapa di antaranya meletakkan kerikil-kerikil untuk penanda makam. Ada yang meletakkan kerikil di atas batu, ada pula yang membenamkannya ke dalam pasir. Sementara lainnya berdoa dalam kalimat-kalimat yang tertahan.

Beberapa di antaranya menengadahkan tangan dengan lebar, sementara yang lainnya nampak setengah-setengah. Ada pula yang hanya komat-kamit dan sama sekali enggan mengangkat tangan. Semua memasang mimik dan mengambil sikap berdoa, dengan gayanya masing-masing. Tiada kalimat yang jelas (jahr), hanya ada gumam-gumam yang tertahan di kerongkongan. (min/bersambung)


Terkait