Warta

Nilai-Nilai Ekonomi Islam Bisa Perbaiki Kondisi Indonesia

Kamis, 15 November 2007 | 12:44 WIB

Jakarta, NU Online
Sejumlah nilai-nilai ekonomi yang ada dalam ajaran Islam bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini masih didasarkan pada teori ekonomi konvensional dan mengikuti Washington Concencus yang terbukti gagal mensejahterakan rakyat di banyak negara.

Demikian diungkapkan oleh Managing Director Econit Dr. Hendri Saparini dalam diskusi Prospek dan Strategi Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 dalam Bingkai UU Nomor 17 Tahun 2007 yang diselenggarakan oleh Lembaga Perekonomian NU di Gd. PBNU, Kamis (15/11).

<>

Dikatakan oleh Hendri bahwa salah satu prinsip dalam Islam adalah pengelolaan perekonomian ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan individu atau anggota masyarakat baik dalam kualitas, kuantitas maupun distribusi. Namun demikian, saat ini ukuran keberhasilan pengelolaan ekonomi adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional, bukannya individu dengan kebijakan monetaris dan konservatif.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Tak heran, ditengah angka-angka pertumbuhan ekonomi dan naiknya anggaran yang cukup tinggi setiap tahunnya, masih banyak pengangguran dan kemiskinan. Saat ini jumlah penduduk miskin mencapai 37 juta jiwa dengan pendapatan kurang dari 180 ribu per bulan sementara disisi lain, 150 orang terkaya menguasai APBN lebih dari 50 persen.

Kebijakan yang didasarkan pada orientasi moneter dengan instrumen pengendalian suku bunga agar pemilik modal tidak lari juga telah menyebabkan biaya investasi menjadi mahal dan hanya menguntugkan sekelompok kecil investor yang menanamkan dana di Indonesia sementara jutaan rakyat Indonesia lainnya menderita.

“Disini, nilai-nilai Islam mendorong sekuat-kuatnya terjadinya kegiatan ekonomi di sektor produktif atau sector riil dan tidak member tempat bagi kegiatan ekonomi ribawi,” katanya.

Prinsip lainnya dalam Islam yang bisa diterapkan adalah pemerintah wajib menyediakan kebutuhan pokok seluruh rakyat dan membiayai kewajibannya dari pengelolaan berbagai kekayaan pemerintah, zakat, wakaf dan lainnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Hendri menunjukkan saat ini, kebijakan yang diambil berbanding terbalik dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam. Saat ini, dengan ideologi neoliberal, kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak rakyat seperti berbagai macam subsidi di bidang kesehatan, pendidikan sampai pertanian terus dikurangi sehingga beban rakyat semakin berat.

Dijelaskannya, kebijakan ini mengikuti instruksi Washington Consesus bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam pengeluaran. Segala pengeluaran yang tidak memberikan penghasilan harus dikurangi merupakan satu dari 10 prinsip yang harus dipatuhi.
Kebijakan ini telah dilaksanakan di Amerika Latin dan terbukti gagal sejak tahun 1970-an. Negera akan terus mengalami krisis secara berulang-ulang. Kini, sejumlah negera di Amerika Latin yang tidak lagi mengikuti saran dari lembaga keuangan multilateral seperti IMF dan Bank Dunia telah mengalami kemajuan luar biasa.

Hendri yang juga bagian dari Tim Indonesia Bangkit ini juga menunjukkan bahwa banyak negera yang terlibat dalam perekonomian tetap sukses dalam mensejahterakan rakyat seperti Singapura, Jepang dan China. “Kalau mereka tetap terlibat dalam pengelolaan perekonomian, mengapa kita tidak bisa,” tuturnya.

Keterlibatan negera dalam perekonomian dinilainya penting untuk melindungi kepentingan rakyat dalam sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di Amerika Serikat yang sangat liberal, negera masih memiliki peran sebesar 39 persen. Berbagai sektor seperti pelabuhan tak diizinkan dimiliki oleh investor asing. Disis lain, Indonesia kini giat sekali melakukan privatisasi sehingga saat ini hanya mengendalikan perekonomian sebesar 14 persen.

Akibatnya, untuk membiayai negera, kini negera hanya bisa mengandalkan pendapatan dari pajak yang semakin membebani rakyat, utang dan penjualan asset yang kini telah menyebabkan perekonomian dikuasai oleh asing. (mkf)


Terkait