Meski secara resmi didirikan di Jawa Timur pada 31 Januari 1926, namun sejatinya ajaran dan kultur NU telah berkembang sejak lama di Indonesia. NU sebagai representasi Islam ala Indonesia yang khas bahkan telah ada sejak awal mula sejarah berkembangnya Islam di Nusantara.
Hal tersebut dikemukakan peneliti jejak langkah ulama Nusantara di Timur Tengah Ahmad Ginanjar Sya'ban saat memandu acara dialog dan silaturahim ketua PWNU Sulawesi Selatan KH Dr Mustamin Arsyad MA. bersama warga PCINU Mesir yang digelar di Kairo pada Selasa (28/7) malam kemarin.
r /> "NU adalah representasi corak keislaman ala Nusantara yang khas, yang telah terbentuk dan berkembang sejak awal mula sejarah berkembangnya Islam di wilayah tersebut," tutur Sya'ban.
Pengandaian NU sebagai representasi Islam ala Nusantara ini tidaklah berlebihan. Hal ini bukan saja karena NU yang melestarikan tradisi-tradisi keislaman khas Nusantara, tetapi juga karena NU melestarikan dan mewarisi pemikiran para ulama agung asal Nusantara di zaman dulu.
"Kitab-kitab karangan ulama Nusantara yang merupakan representasi dari corak pemikiran lokal masih terus diaji, diajarkan, dan dilestarikan di lingkungan NU," tambahnya.
Sya'ban memaksudkan, para ulama Nusantara tersebut adalah Syaikh Abdul Rauf al-Sinkili al-Jawi (Singkil, Aceh), Syaikh Yusuf al-Makassari (Makassar), Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasik Malaya, Sunda), sebagai generasi di abad ke-17, juga Syaikh Burhanuddin al-Jawi (Ulakan, Minang), Syaikh Arsyad al-Banjari (Banjar), Syaikh Abdus Shamad al-Falambani (Palembang) sebagai generasi di abad ke-18, juga Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani (Banten), Syaikh Ahmad Khatib (Minangkabau) sebagai generasi abad ke-19.
Para ulama agung di atas bukan sekedar menyebarkan dan memberikan sentuhan Islam yang khas di bumi Nusantara saja, tetapi juga mampu berkiprah di dunia intelektual Islam dalam skala internasional. Para ulama Nusantara tersebut memiliki pola jaringan dan silsilah yang kuat serta hubungan yang erat sekali dengan para ulama Sunni di Timur Tengah, utamanya Yaman, Hijaz, Mesir, dan Syam.
"Syaikh Yusuf Makassar, misalnya, beliau menjadi juru dakwah Islam di Nusantara, mengajar di Masjid al-Haram, Syaikh rujukan besar di Srilanka dan India, bahkan menjadi 'pendiri' Islam di Afrika Selatan," jelasnya.
Nah, pemikiran yang dikembangkan dan diwariskan oleh para ulama Nusantara di ataslah yang kemudian diteruskan oleh para pendiri NU sebagai ulama generasi abad ke-20, yaitu KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahhab Hasbullah, KH. Ihsan Dahlan, dan lain sebagainya. NU ibaratnya yang mengormaskan rentetan panjang sejarah Islam Nusantara itu.
"Ulama 'NU' generasi awal ya Syaikh Abdurrauf Singkel, Syaikh Yusuf Makassar, Syaikh Arsyad Banjar dan Syaikh Nawawi Banten itu, diteruskan oleh Kyai Kholil bangkalan, lalu oleh KH. Hasyim Asyari Jombang (Jawa). Jika dilihat, ulama NU generasi awal itu justru orang-orang luar Jawa, yaitu Aceh, Makassar, Banjar, dan Sunda," terang Sya'ban.
Atas dasar silsilah dan gugusan ini pulalah, menjadi wajar kiranya jika ditemukan adanya kesamaan dalam spirit, tradisi, pemikiran, dan corak keislaman yang khas ala NU di Jawa dengan yang berkembang di Aceh, Padang, Melayu, Banjar, Bugis, Ternate, dan lain-lain. (euy)