Perpecahan politik di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) belum juga kunjung usai meski tahun 2006 telah berlalu. Namun demikian, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi tak terlalu mengkhawatirkannya. Menurutnya, hal itu sudah menjadi kebiasaan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini.
“Kalau NU terpecah, itu sudah menjadi kebiasaan. NU tidak pernah tidak terpecah. Dari dulu ada yang nyoblos Golkar, ada yang ikut PKB, ada yang bergabung dengan PDI. Tidak masalah,” kata Hasyim kepada wartawan di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (1/1) lalu. Hal itu diungkapkannya usai menyerahkan daging kurban kepada masyarakat sekitar kantor PBNU.<>
Menurutnya, hal itu merupakan bagian ketegasan NU secara kelembagaan yang tidak mau terlibat dalam politik praktis serta upaya pemberian kebebasan kepada warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU) dalam berpolitik. “Bukan perpecahan, tapi pembebasan dalam memilih,” tegasnya.
Sementara ini, ia menilai, perbedaan pilihan-pilihan jalan politik yang ditempuh itu tidak sampai mengganggu kerukunan di antara sesama warga nahdliyin. Kalaupun terjadi perpecahan, menurutnya, hal itu terjadi hanya sebatas pada elit-elit saja dan tidak sampai menyentuh kalangan nahdliyin yang paling bawah.
“Yang pecah itu bukan grass root (rakyat kecil: Red). Yang pecah adalah kepentingan-kepentingan yang bikin partai. kalau di bawah biasa aja. Coba lihat di desa-desa, mana ada orang yang membela partainya mati-matian. Tidak ada. Ini artinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” terang mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur itu.
Alasan lain yang dikemukakan Hasyim adalah bahwa keberadaan ormas yang dipimpinnya tidak bertujuan untuk menjadi satu golongan saja. “Dia (NU) tidak perlu mengkristalkan diri menjadi utuh kemudian membentur yang lain. Jadi, salah persepsi kalau itu dianggap perpecahan,” katanya.
Namun demikian, Hasyim berharap, perbedaan-perbedaan politik itu hendaknya tetap dilakukan pada jalur yang benar. Sehingga mampu memberikan sumbangan yang positif bagi bangsa Indonesia. “Milih, ya, milih, silakan. Tapi yang dipilih, ya, yang semestinya. Mampu menghasilkan kekuasaan semestinya pula yang didukung oleh rakyat,” imbaunya.
Perpecahan politik di lingkungan NU, terutama buntut konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga kini belum usai. Menyusul kemudian muncul Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang didirikan oleh elit-elit partai sempalan PKB. Belum lagi persoalan menyeberangnya beberapa fungsionaris PKB ke partai lain, seperti Partai Persatuan Pembangunan.