Pengambilalihan Masjid dan Mushala, Warga NU Harus Tetap Toleran
Senin, 11 Juni 2007 | 10:02 WIB
Surabaya, NU Online
Fenomena diambilalihnya masjid dan mushala yang dibangun warga Nahdlatul Ulama (NU) oleh kelompok Islam garis keras yang semakin marak belakangan ini karena warga NU terlalu toleran terhadap kelompok Islam lainnya.
“Salah kita (warga NU) juga, kita lemah, terlalu toleran,” ungkap Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur (Jatim) KH Miftachul Akhyar kepada NU Online ditemui di Kantor PWNU Jatim, di Surabaya, Senin (11/6).
<>Ia menjelaskan, banyak pengalaman membuktikan, di saat kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) bersikap toleran kepada kelompok lain, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh kelompok lain, terutama kelompok Islam garis keras.
“Bolehlah mengusung semangat perjuangan sesama muslim, lalu mereka diajak masuk ke dalam ketakmiran masjid. Tapi faktanya, dengan alasan ganti takmir atau penyegaran, orang-orang NU langsung ‘dibersihkan’. Selain tidak masuk struktur (takmir masjid), para khatib dari NU biasanya tidak dipakai lagi di masjid itu,” terangnya.
Hal itu, lanjutnya, menunjukkan bahwa warga NU terlalu mudah percaya pada orang lain. “Bila ada orang pendatang yang bicaranya enak atau terlihat rajin beribadah, langsung diberi kesempatan berperan dalam ketakmiran masjid atau mushola, meski belum seberapa kenal,” tandasnya.
Padahal, lanjut Kiai Miftah yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya, itu, kalau diadu dengan kiai setempat, kualitasnya juga belum tentu lebih baik.
Ia menyebut fenomena itu sebagai “ikhlas tapi tidak ikhlas”. Artinya, ketika mengajak orang lain masuk dengan perasaan ikhlas, tapi ketika mereka didepak dari masjid tersebut, hatinya tidak ikhlas.
Karena itu, ia mengimbau kepada para takmir masjid NU untuk lebih selektif memilih orang. Lebih baik lagi kalau diteliti lebih dulu asal-usul mereka. “Sebab, contoh sudah banyak, dan tidak perlu ditambah lagi,” tandas alumnus Ponpes Sidogiri, Pasuruan, Jatim, itu.
Menurutnya, toleransi atau sikap saling menghargai dan menghormati harus tetap dibangun antar-sesama muslim. Bahkan, jika perlu harus berkorban demi persaudaraan di antara umat Islam tanpa harus mengorbankan perjuangan dalam skala yang lebih besar. (sbh)