Kisah perjuangan menyebarkan agama Islam oleh KH Ahmad Mutamakin, ditampilkan dalam wayang suket berjudul Kiai Mutamakin Mbabar Jatidiri. Pagelaran wayang sebagai rangkaian peringatan haul ulama besar asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, itu dimainkan dalang Slamet Gundono di Pesantren Salafiyah, Pati, Senin (5/1) lalu.
Turut menyaksikan pentas tersebut, di antaranya, Budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Penyair W.S. Rendra.<>
Dikisahkan, perjuangan Kiai Mutamakin menebar ajaran Islam dengan karakter Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan menyelesaikan konflik dengan Ketib Anom, tokoh pemerintahan pada masa kekuasaan Amangkurat.
Slamet Gundono mengatakan, kisah Kiai Mutamakin dapat dijadikan teladan bagi santri masa kini agar berani menghadapi penguasa yang zalim. “Kiai Mutamakin menjadi representasi perlawanan agamawan-budayawan terhadap penguasa tiran,” ujarnya.
Wayang Suket yang ditampilkan Slamet Gundono berupaya menafsirkan kembali kisah perlawanan dan perjuangan Kiai Mutamakin dalam mengajarkan nilai-nilai Islam di Jawa. Tradisi dan ajaran agama yang digerakkan Kiai Mutamakin menjadi titik penting menebarkan nilai Aswaja dalam kehidupan santri masa kini.
Kiai Mutamakin dikenal sebagai penyebar Islam esoteris (batini) yang hidup di zaman Raja Kartasura, Amangkurat IV (1719-1726) dan Pakubuwono II (1726-1749). Ia hidup dan berkiprah dalam paruh kedua abad ke-18 Masehi. Mengalami dua macam penguasa. Mereka adalah Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta Hadiningrat.
Kiai Mutamakin terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangannya oleh Ketib Anom, yang juga cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Nama sebuah desa yang terletak di sebuah selatan desa Kajen di atas. (ziz)