Banyak cara untuk mengisi bulan Ramadan. Dari mulai buka puasa bersama, bagi-bagi sembako (sembilan bahan pokok) kepada fakir miskin, kunjungan ke panti asuhan, mengumpulkan anak jalanan hingga pesantren kilat pun digelar untuk menghormati bulan suci tersebut. Termasuk di antaranya dengan menggelar pengajian kitab kuning.
Tapi, sebentar! Hal yang disebutkan terakhir sepertinya tidak terlalu lazim, meski bulan Ramadan. Di kota metropolis seperti Jakarta, Anda akan susah menemukan acara tersebut kalau tidak datang ke pondok pesantren. Pengajian kitab kuning, memang metode pembelajaran khas pesantren. Di kalangan nahdliyyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU) pun, mungkin hanya ada di forum-forum bahsul masa’il (pembahasan masalah) saja.
<>Mengadakan kegiatan pengajian kitab kuning untuk kalangan umum jangan berharap akan diikuti oleh banyak orang. Karena hampir bisa dipastikan tak akan ada peminatnya. Kalaupun ada, forumnya pasti tak akan seseru seminar, lokakarya, simposium dan sejenisnya. Bagi seorang yang pernah menjadi santri pun, kitab kuning, karya ulama klasik itu bukan barang yang menarik lagi untuk dipelajari.
Tapi tidak demikian kenyataannya. Asumsi tersebut akan mudah sekali dipatahkan ketika melihat acara pengajian kitab kuning berjudul Manahijul Imdad, karya ulama besar Indonesia, Syekh Ihsan Dahlan (alm), Jampes, Kediri, Jawa Timur yang digelar NU Online—situs resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)—bekerja sama dengan Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN-NU) di Gedung PBNU Lt.5, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (28/9) lalu.
Pihak panitia tak membuat publikasi besar-besaran. Cukup dengan memberitakannya di NU Online serta membuat pamflet seadanya yang ditempel di sejumlah ruangan di Gedung PBNU, acara pun siap digelar. Hal itu dilakukan karena panitia merasa kegiatan tersebut tak akan banyak peminatnya.
Belum populernya kitab setebal 1088 itu di kalangan pesantren juga menjadi alasan berikutnya. Karena meski telah ditulis pada tahun 1940, kitab syarah (komentar) atas kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari itu memang baru diterbitkan tahun 2005 lalu.
Tak seperti diperkirakan sebelumnya yang kemungkinan hanya akan diikuti paling banyak 15 orang. Tapi, sore menjelang waktu berbuka puasa itu benar-benar berbeda ceritanya. Ruang rapat redaksi NU Online berukuran 5 x 6 meter yang didaulat menjadi “pesantren dadakan” itu seakan tak mampu menampung 60-an “santri” (baca: peserta) yang ingin mengikuti pengajian yang diasuh Prof Dr KH Said Aqil Siradj.
Bertumpuknya peserta, baik laki-laki dan perempuan di dalam ruangan tersebut pun tak bisa dihindari. Pemandangan seperti ini tak akan ditemui di pesantren manapun, kecuali di “pesantren dadakan” NU Online ini. Maklum, sekali lagi, karena tak pernah terpikir akan dihadiri sedemikian banyak orang, panitia pun tak sempat membuat pemisah antara “santri” laki-laki dan santri perempuan, sebagaimana layaknya pengajian di pesantren.
Pemandangan menarik lainnya yang tak akan ditemui di pesantren manapun kecuali dalam pengajian di “pesantren dadakan” ini, para santri bisa berinteraksi langsung dengan sang kiai.
“Kalau bismilahirrohmanirrohim dianggap tidak termasuk dalam Surat Al-Fatihah, bagaimana dengan dalil tentang tujuh ayat dibaca berulang-ulang? Berarti surat Al-Fatihah hanya enam ayat?” tanya Dr Bina Suhendra menyela uraian Kang Said yang saat itu sedang menerangkan apakah ayat basmalah termasuk dalam Surat Al-Fatihah atau tidak?
Bagi yang berpendapat bahwa bismilahirrohmanirrohim tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah, ayat terakhir dalam surat tersebut dianggap dua ayat. “Jadi, jumlahnya tetap tujuh ayat,” jawab Kang Said.
Kejadian tersebut tentu tak direncanakan sebelumnya. Bahkan terbersit di pikiran pun tidak sama sekali. Karena, Pak Bina—begitu panggilan akrab Bina Suhendra—tidak pernah mondok dan baru sekali itu mengikuti pengajian kitab kuning. Ia juga seorang muallaf. Pengajian tersebut, merupakan pengalaman pertama dalam hidupnya.
“Terus terang, baru sekali ini saya mengikuti pengajian kitab kuning. Ini acara bagus. Karena juga pengalaman pertama buat saya,” tutur Pak Bina usai acara.
Pihak panitia dari awal berencana akan mengkaji kitab yang membahas tentang fikih, tauhid, keilmuan, akhlak dan tasawuf itu secara berkelanjutan selama bulan Ramadan kali ini. Namun, mengingat begitu banyaknya permintaan dari peserta agar terus mengkaji kitab tersebut hingga jilid kedua, panitia pun tampak berubah pikiran. (Moh. Arief Hida