PM Thai Bantah Tuduhan Ada Penyiksaan “Sistematis” di Thailand Selatan
Jumat, 16 Januari 2009 | 04:15 WIB
Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva membantah tuduhan-tuduhan Amnesti Internasional bahwa pasukan keamanan terlibat dalam penyiksaan yang "sistematis" di wilayah selatan negara itu yang sedang bergolak.
Kelompok hak asasi manusia itu dalam sebuah laporan yang disiarkan Selasa mengatakan empat orang tewas akibat penyiksaan oleh tentara dan polisi di wilayah selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim, di mana aksi kekerasan terjadi sejak tahun 2004.<>
"Saya ingin menyatakan kepada anda bahwa itu bukan kebijakan pemerintah dan itu tidak dilakukan secara sistematis. Pemerintah Thailand tidak mendukung kekuasaan diluar pengadilan," katanya kepada wartawan Rabu.
Laporan Amnesti itu mengatakan mereka telah mengidentifikasi 34 kasus penyiksaan dan menambahkan walaupun pihak pemerintah secara resmi mengecam penyiksaan, jumlah insiden itu berarti mereka tidak dapat membantah bahwa tindakan itu dilakukan "beberapa orang bawahan."
Abhisit mengatakan akan menyelidiki apakah ada praktek-praktek di luar pengadilan oleh pasukan keamanan yang memerangi gerilyawan , tetapi ia juga mempertanyakaan keakuratan laporan Amnesti itu. Ia mengutip kasus pemeriksaan bulan lalu --- yang menetapkan bahwa seorang pemimpin Muslim meninggal setelah dipukul tentara selama pemeriksaan--sebagai satu contoh bagaimana pihak berwenang Thailand tidak mentolerir atau menutupi penyiksaan.
Abhisit menurut rencana , Sabtu akan melakukan lawatan pertamanya ke wilayah selatan sejak berkuasa Desember tahun lalu, dan ia sudah menyerukan peningkatan penyelesaian ekonomi dan budaya atas aksi kekerasan itu.
Lebih dari 3.500 orang tewas sejak aksi perlawanan separatis meletus awal tahun 2004 di Thailand selatan. Ketegangan meningkat sejak Thailland mencaplok bekas kesultanan Melayu itu tahun 1902. "Kita harus merebut hati dan kerjasama penduduk lokal, jika tidak kita tetap pada situasi yang sama," katanya.
Panglima Angkatan Darat untuk wilayah selatan, Letjen Pichet Visaichorn, juga membantah laporan itu dan mengatakan tentara ingin menyelesaikan aksi kekerasan itu secara damai dan menghormati hak asasi manusia. "Sejak 1 Oktober 2008 tidak ada laporan praktek liar oleh pihak berwenang," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan, Rabu.
"Jika seseorang ternyata bersalah , ia akan dihukum baik berdasarkan disiplin militer maupun hukum sipil," katanya. (ant/afp/din)