Warta

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi Alot

Sabtu, 21 Januari 2006 | 12:53 WIB

Jakarta, NU Online
Pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi Alot di DPR berlangsung alot. Bahkan Pantita Khusus (Pansus) DPR tidak mampu merampungkan definisi Pornografi dan Pornoaksi. Soal definisi menjadi perdebatan alot sehingga  RUU itu macet pada persoalan tersebut.

Kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (21/1), anggota Pansus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi  Alfridel Jinu mengungkapkan, dalam draf RUU itu, banyak pasal-pasal bukan hanya melindungi yang anti pornografi tetapi lebih banyak yang menyerang kepada para pelakunya. “Sehingga bila RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi disahkan dalam kondisi saat ini, bukan tidak mungkin  kreativitas seni akan mati,” katan Alfridel Jinu, yang juga anggota DPR RI dari F-PDIP.

<>

Kenapa? Ia beralasan, dalam kondisi bangsa Indonesia yang secara ekonomi masih kurang baik ini, usaha yang masih dianggap bisa bertahan adalah industri seni. Kerenanya, jika UU tersebut mematikan industri seni, maka ekonomi bangsa juga ikut terganggu.

Menurut Alfridel, FPDIP akan memandang masalah itu secara rasional. Sebab,  RUU itu tetap harus memberikan perlindungan kepada kreativitas seni. “Tentunya, secara mendasar muncul pertanyaan ari kami, apakah dalam kondisi sekarang ini UU itu dibutuhkan sekarang atau tidak,” tanyanya.

Menurut Alfridel, memang kita membutuhkan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, tetapi bagi kita batasan ruang garapannya harus jelas. “Kita di F-PDIP bukan menolak RUU itu tetapi pasal-pasal yang ada dalam RUU itu sejauh mana memberikan perlindungan terhadap kreativitas seni,” ujarnya.

Anggota Pansus Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi DPR lain Tris Tanti mengakui, walaupun pihakanya telah mengundang sejumlah ahli dan berbagai unsur di masyarakat, definisi pornografi dan pornoaksi hingga kini belum mencapai titik temu. Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi DPR RI masih terus mencari jalan tengah.

“Kondisi ini diperparah lagi karena masing-masing pihak masih bicara para persepsinya sendiri. Dan nggak pernah ketemu," ujar Tanti

Menurut Tanti, sebetulnya tidak diperlukan definisi pornografi. Di negara lain, seperti Amerika Serikat tidak ada definisi pornografi yang jelas. Maka di Amerika ttidak ada UU-nya, termasuk negara-negara Islam di dunia tidak memiliki UU Pornografi. "Yang ada hanya kode etik," jelasnnya. .

Tanti berharap jika RUU ini disahkan, maka bisa menjadi penyeimbang antara peran perempuan dan laki-laki. Sebab ia mengaku gelisah lantaran dalam soal pornografi yang  disalahkan selalu perempuan, sementara pihak laki-laki tidak. "Misalnya nih, laki-laki memberi kedipan, itu kan sudah tindakan merangsang, tapi kenapa yang disalahkan selalu perempuan," tukasnya. (sby)


Terkait