Warta

Santri Perlu Transformasi Iptek

Senin, 31 Oktober 2005 | 07:40 WIB

Surabaya, NU Online
Pesantren-pesantren di Jawa Timur perlu mengirim santri mereka studi ke luar negeri, baik ke Amerika Serikat, Jepang atau negara lainnya, sebagai upaya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), kata pengamat sosial dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr M Ali Haidar, Senin.

"Agar memiliki wawasan lebih luas serta mengenal peradaban dan budaya bangsa lain, maka para santri perlu menempuh pendidikan ke luar negeri (LN)," katanya menanggapi sering adanya tawaran program beasiswa, baik dari pemerintah Amerika Serikat, Jepang, maupun negara lain untuk kalangan pesantren.

<>

Menurut Haidar yang pernah menjabat sebagai Sekjen Rabitha Ma’ahid Islamiyah (Persatuan Pesantren se-Indonesia/RMI) periode 2000-2003 itu, beasiswa dari LN tidak perlu ditafsirkan secara negatif, karena para santri yang belajar ke LN berarti mereka mendapat kesempatan menyerap ilmu dan teknologi yang nantinya dapat diterapkan di tanah air.

"Menyerap, bukan berarti menelan mentah-mentah apa yang mereka peroleh di LN, tapi menyaring dari hal-hal yang positif yang dapat diterapkan di negeri sendiri," katanya dan menambahkan bahwa pertukaran siswa untuk belajar di LN itu sudah merupakan tradisi yang telah berkembang sejak lama.

Selain dapat mengenal berbagai peradaban, budaya dan sejarah negara lain, mereka juga dapat mengenal sistem kepemimpinan yang diterapkan oleh negara tersebut, baik dari segi kedisiplinan maupun penerapan hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan, menurut Haidar, justru para kiai perlu mempelajari sejarah, peradaban dan kebudayaan Islam, baik itu diperoleh lewat buku maupun belajar di LN. "Jadi kiai jangan hanya membaca kitab fikih saja, tapi juga filsafat, pemikiran dan sejarah, karena hal itu penting untuk memahami Islam secara ’Syamil’ (komprehensif)," katanya.

Ia menjelaskan bahwa pada abad X hingga XIV, masyarakat Eropa belajar di negara-negara Islam, seperti Iraq dan Mesir, namun kalau saat ini kalangan pesantren mendapat kesempatan belajar di AS, Belanda atau Jepang tidak ada salahnya, karena penting bagi mereka memperoleh wawasan luas tentang kehidupan di LN.

"Seperti warga Jepang, tidak sedikit diantara mereka yang belajar ke LN, tapi mereka tetap tidak meninggalkan akar budaya mereka, bahkan teknologi yang mereka serap dari negara lain dapat mereka kembangkan lebih pesat, namun budaya yang di masyarakatpun tetap dapat mereka pertahankan dengan kuat," ujarnya memberi contoh.

Tapi Negara Turki, yang sebelumnya sebagai negara Islam, sejak 1923 menjadi negara Republik di bawah Kemal Ataturk yang memulai program reformasi dan modernisasi besar-besaran dan ditujukan untuk pembangunan Turki sebagi negara demokrasi modern dengan corak Eropa, telah mengubah ciri negara Islam.

"Jadi bekal yang diberikan kepada para santri, baik yang akan belajar di luar negeri, maupun di dalam negeri sendiri, adalah tetap ditanamkannya akar budaya Islam agar ajaran-ajaran Islam yang mereka anut selama ini tidak larut, tapi justru sebaliknya," tambahnya.

Secara terpisah, juru bicara Konsulat Jenderal (Konjen) AS di Surabaya Mary Elizabeth Polley menyatakan pemerintah AS sebenarnya iri dengan kenyataan yang ada saat ini, karena sejak Tragedi WTC pada 2001, pemerintah dan warga AS sudah banyak belajar tentang Islam. "Kalau boleh dikatakan, saya sebenarnya iri, karena orang Amerika sudah banyak belajar tentang Islam, tapi orang Islam masih sedikit yang mempelajari budaya dan karakter Amerika, padahal kalau Islam dan Barat saling mempelajari tentu akan terwujud saling pengertian," katanya.

ANTARA mencatat pemerintah AS dalam beberapa tahun terakhir sudah berkali-kali mengundang masyarakat dan tokoh masyarakat di Indonesia, termasuk pelajar dan santri, untuk berdialog dengan sejumlah masyarakat dan tokoh agama di AS.
(atr/cih)

 


Terkait