Warta

SKB Rumah Ibadah Tidak Diskriminatif

Selasa, 15 November 2005 | 02:45 WIB

Jakarta, NU Online
Masih adanya aksi protes terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, dan menuntut agar SKB Nomor 01 Tahun 1969 tentang Pengaturan Pembangunan Rumah Ibadah dicabut, karena kurang mengerti terhadap isi dari kesepakatan tersebut.

"Sebagai negara yang pluralis seperti Indonesia, haruslah memiliki aturan tentang pembangunan rumah ibadah. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling mengganggu masyarakat beragama, dalam melaksanakan ajaran agamanya," jelas H Soefianto,SH Kabag Humas Depag, Senin (14/11) kemarin, menanggapi demonstrasi menuntut agar SKB yang ditandatangani Mendagri Amir Machmud dan Menag KH Moh.Dahlan pada 13 September 1969 itu, dicabut.

<>

Ia menilai, SKB dua menteri itu bertujuan baik terutama di negara yang terdiri dari berbagai agama seperti Indonesia ini. Bila pembungan rumah ibadah tidak diatur, bukan tak mungkin menimbulkan gesekan. Bahkan, dapat memunculkan konflik secara terbuka.

Gesekan dan konflik itu dapat terjadi misalnya, umat Islam mendirikan masjid di tengah komunitas umat Kristen, Hindu dan Budha, sementara umat Islam hanya beberapa orang saja yang tinggal di situ.

Menjawab pertanyaan dikatakan, bila berbicara tentang kelayakan SKB tersebut masih sangat relevan. Jadi tidak harus dicabut, tapi mungkin yang harus dilihat kandungan atau persyaratan dalam pasal-pasalnya. Namun sejauh ini ia melihat, tidak ada diskriminasi yang oleh beberapa pihak beranggapan dapat berdampak pada pembangunan rumah ibadah, bagi agama tertentu.

Pada prinsipnya, SKB dua menterinya ini sebaiknya disikapi dengan arif dan bijaksana. Khususnya tentang berbagai permasalahan, yang menyangkut keagamaan. Artinya, dengan kearifan dan kebijaksanaan semua pihak akan dapat menghindari umat beragama dari konflik horizontal, yang bisa menimbulkan permasalahan panjang. "Semoga dengan sikap tersebut, umat beragama akan semakin matang dan terhindar dari konflik yang berdampak pada stabilitas keamanan bangsa," harap Soefianto.

Sementara itu, ditempat terpisah, Ulama Madura yang tergabung dalam Badan Silaturahim Ulama Pondok Pesantren Madura menyatakan dukungan mereka pada Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri yakni Menteri Agama dan Mendagri No 01/BER/mdn-mag/1969 tentang pendirian tempat ibadah agar tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan menjadi undang-undang.

"SKB dua menteri itu substansi dalam kehidupan beragama, suatu pilar yang tidak boleh dilemahkan apalagi dicabut. Justru aturan itu harus dikuatkan menjadi undang-undang. Kami tidak setuju jika SKB itu dianggap melanggar HAM," kata KH Kholilurrohman, pengasuh Pesantren Matsarotul Huda, Pamekasan kepada NU Online beberapa waktu lalu.

Menurut Kiai Kholilurrahman, dalam masyarakat Indonesia yang beragam, termasuk agama yang dianut, jelas diperlukan aturan yang tegas dalam hal pendirian tempat ibadah guna menghindarkan persinggungan antar umat dan semua umat beragama wajib mematuhi aturan tersebut. (cih)

 


Terkait