Warta

Soal Ahmadiyah Jangan Dibesar-besarkan

Rabu, 7 September 2005 | 10:51 WIB

Jakarta, NU Online
Persoalan Ahmadiyah tidak usah bikin ruwet umat Islam, tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak perlu sampai mengerahkan kekuatan fisik untuk membentak, mencaci atau menekannya. Umat Islam cukup dengan membeberkan kesesatannya dan mengajaknya kembali.

"Ini adalah cara yang bijak dalam menyikapi berkembangnya ajaran ‘menyimpang’ Jemaah Ahmadiyah di belahan dunia ini. Tak perlu ada kekerasan, selain memberikan penyadaran dan mengajak kembali ke dalam ajaran Islam yang benar," demikian dikatakan Hasan bin Mahmud Audah bekas Direktur Umum Bahasa Arab Jemaah Ahmadiyah Pusat Landon yang hadir dalam acara Halaqoh Nasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dengan tema Mencari Solusi Problem Ahmadiyah, di Gedung PBNU, Rabu, (7/9).

<>

Menurut lelaki kelahiran Palestina 54 tahun lalu, sikap keras, apalagi melakukan tindakan anarkis kepada Ahmadiyah malah semakin mencoreng martabat umat dan citra Islam itu sendiri sebagai agama rahmat, agama cinta dan agama damai.

"Pengalaman telah membuktikan, banyak jemaah yang sebelumnya sempat bertaubat dan ingin kembali ke ajaran Islam semula, justru balik lagi ke aliran (Ahmadiyah) yang dianggap masyarakat luas sebagai aliran sesat. Bahkan, banyak jemaah yang justru semakin yakin dengan ajaran yang dipahaminya sekarang ini. Alhasil, bukan alirannya hilang atau jemaahnya sadar, tapi sebaliknya kian berkembang dan memiliki militansi di kalangan pengikutnya," kata Hasan yang dibesarkan dan hidup dari keluarga Ahmadiyah.

Pengarang buku al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats yang mengupas habis kesesatan ajaran Ahmadiyah ini menambahkan jika sikap kekerasan yang dilakukan dalam memerangi Ahmadiyah maka, bukan simpati yang dituai, malahan antipati. Padahal, dalam beberapa kasus di luar negeri, sebagaimana pengalaman Hasan bin Mahmud Audah, banyak jemaah Ahmadiyah yang akhirnya kembali ke ajaran Islam setelah melakukan berbagai dialog dengan umat Islam.

Artinya, konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam konteks saat ini haruslah dikomunikasikan secara dialogis. "Kita harus menampilkan secara tegas identitas keagamaan yang damai, penuh cinta kasih dan membebaskan. Bila perlu, konsep fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dimaknai  tidak hanya mengajak berbuat baik di kalangan sendiri, tapi sekaligus memberikan kebaikan kepada mereka yang berbeda paham untuk kembali kepada ajaran Islam secara damai dan penuh kesadaran," tandas mantan orang kepercayaan Khalifah Ahmadiyah ke-4 Thahir Ahmad, yang sudah kembali ke Islam ini.  (cih)


Terkait