Jakarta, NU Online
Upaya pengembangan kader perempuan NU agar bisa mensejajarkan dirinya dengan laki-laki masih menghadapi kendala besar. Walaupun mereka memiliki kapasitas besar untuk memajukan dirinya, hambatan kultural yang ada seringkali memaksa mereka untuk berdiam diri dan menerima nasib yang ada.
Ketua PBNU HM Rozy Munir mengungkapkan bahwa PBNU memiliki program pengembangan kader yang diantaranya juga ada upaya penyeimbangan antara laki-laki dan perempuan seperti short course ke Inggris yang sudah berlangsung selama beberapa periode.
<>“Kita sering manghadapi masalah dengan para kandidat perempuan dari berbagai pesantren di daerah. Kadangkala mereka tidak diperbolehkan oleh suaminya, sedang hamil atau memang tidak memiliki kualiafikasi,” tandasnya dalam workshop “Partisipasi Politik Perempuan dalam Penguatan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Korps PMII Putri di Jakarta (11/07).
Namun demikian, situasinya berbeda dengan kondisi yang ada di Jakarta. Ketua Ikatan Peminat Ahli Demografi tersebut menceritakan bahwa untuk kader perempuan NU dari Jakarta, mereka sudah bisa menunjukkan kualifikasinya. Dari beberapa beasiswa PBNU seperti ke Inggris dan Singapura lewat PBNU, semua yang lolos bahkan perempuan.
Peran domestik perempuan seperti mengurus keluarga memang menjadi tantangan sendiri bagi perempuan. Untuk kepentingan keluarga, memang ini harus dicarikan solusi terbaiknya untuk kepentingan bersama.
Mantan Menteri BUMN era Gus Dur tersebut menceritakan pengalaman orang tuanya. KH Munasir. Dikatakannya bahwa pada awalnya sang istri menjadi anggota DPRD Mojokerta. Ketika sang ayah KH Munasir terpilih menjadi anggota DPR RI NU yang saat itu masih menjadi partai, terjadi diskusi mendalam yang secara langsung diketahuinya yang akhirnya sang istri memutuskan mengundurkan diri dari anggota DPRD dan mengurus 14 anaknya yang semuanya sukses meraih gelar sarjana.
“Yang penting ada job description yang jelas demi kepentingan bersama,” tuturnya.
Saat ini, upaya pemberdayaan perempuan semakin baik dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Namun bapak dari tiga orang anak tersebut mengingatkan agar para perempuan tidak hanya bisa menuntut saja, tetapi mereka juga harus menyiapkan dirinya agar bisa memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.
Tantangan Peran Ganda
Sementara itu Wakil Sekjen PKB Rieke Dyah Pitaloka menyatakan bahwa peran ganda yang harus diemban oleh perempuan jika mereka ingin aktif dalam dunia public menyebabkan tantangan yang dihadapi lebih berat dibanding laki-laki.
Peran-peran domestik perempuan yang terkenal dengan idiom dapur-sumur-kasur mengakibatkan banyak perempuan secara internal tak lagi merasa perlu memperhatikan masalah public, miskin referensi kegiatan atau kurang PeDe.
Hal tersebut juga ditambah dengan factor eksternal yang menyebabkan peran perempuan semakin terhambat. Dalam berbagai pertemuan atau rapat yang seringkali berlangsung malam hari, biasanya didominasi oleh laki-laki, karena perempuan biasanya dianggap kurang sopan keluar malam. Mereka juga sering tak diberi kesempatan berbicara atau bahkan tak diundang karena hanya kepala keluarga yang diundang.
“Ini menyebabkan adanya penyederhanaan masalah sehingga tak ada pengakuan terhadap kebutuhan yang berbeda,” tuturnya.
Menurut data yang diungkapkan pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri tersebut, Swedia merupakan Negara yang paling menghargai perempuan dan anak-anak. Disana perempuan sangat dilindungi haknya seperti cuti hamil, cuti haid, pengasuhan anak dan lainnya. “Saat ini dari 22 menteri, 50 persennya merupakan perempuan. Ini menyebabkan Swedia dapat menjadi negara kesejahtaraan yang terbaik,” katanya.(mkf)