Warta

Televisi Indonesia: Kekerasan, Horor dan Seks

Rabu, 22 November 2006 | 09:45 WIB

Jakarta, NU Online
Kritik pedas untuk televisi di Indonesia. Tayangan televisi di negeri ini belakangan boleh dikelompokkan tidak lebih sebatas pada tiga hal, yakni tayangan yang mempertontonkan adegan kekerasan, tayangan menyeramkan atau horor dan tontonan tentang hubungan seksual lawan jenis.

Demikian disampaikan Ketua Komunitas Melek Media Televisi Teguh Imawan saat berbicara pada sarasehan bertajuk “Remaja dalam Bingkai Sinetron dan Film Indonesia” yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (22/11).

<>

Selain, Teguh Imawan, hadir pula sebagai narasumber pada acara rangkaian dari peluncuran website IPNU Online dan majalah LENSA Remaja itu, artis Ray Sahetapy yang juga Ketua Kajian Pendidikan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sinansari Encip.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Menurut Teguh, panggilan akrab Teguh Imawan, tiga jenis tayangan televisi itu merupakan cerminan dari mayoritas konsumen televisi di tanah air. “Penonton mayoritas televisi, terutama tayangan jenis VHS (violence [kekerasan], horror and sex) itu adalah masyarakat yang berpendidikan rendah. Pendidikan rendah ini melahirkan selera tontonan yang rendah pula,” terangnya.

Hal itu, katanya, terjadi karena stasiun televisi memiliki dua misi utama, yakni mencari sensasi dan mengejar rating tinggi yang pada dasarnya demi keuntungan ekonomis sebesar-sebesarnya. “Saya dulu pernah bekerja di sebuah production house (rumah produksi-Red). Tiap detik yang kami pikirkan adalah bagaimana membuat tontonan yang rating-nya tinggi,” tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, tayangan televisi, terutama sinetron, lebih banyak menampilkan khayalan-khayalan. Yang terjadi kemudian, katanya, masyarakat sebagai konsumen tidak lagi bisa membedakan antara tayangan yang bersifat fakta dengan tayangan hasil rekaan.

“Misalkan tayangan tentang alam kubur. Si sutradara seolah-olah sangat tahu apa yang terjadi pada kehidupan setelah mati. Dibumbui ayat-ayat suci Alquran, jadilah si penonton percaya bahwa itu sebuah kebenaran,” jelas Teguh.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Misalkan lagi, sinetron yang menceritakan seorang perempuan yang hamil di luar nikah. Kalau tayangan seperti terus ada, masyarakat nantinya akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar, dan akhirnya akan dianggap sebagai kebenaran juga,” imbuhnya.

Sementara itu, Ray Sahetapy mengungkapkan fakta di balik sukses sebuah tayangan televisi. Menurutnya, dalam pembuatan sebuah sinetron, yang paling berpengaruh adalah sang produser, bukan sutradaranya. Sebaliknya, pada film yang yang memiliki peran utama adalah sang sutradara.

“Kalau film, Ooo… itu karya Garin Nugroho (sutradara film kenamaan), misal. Jadi yang disebut sutradaranya. Tapi kalau sinetron, sebut saja Ram Punjabi (pemilik production house Multivision Plus). Beda dengan teater. Yang lebih dikenal adalah aktornya,” jelas Ray, begitu panggilan akrab mantan suami artis Dewi Yull itu.

Sedikit berbeda dengan keduanya, Sinansari Encip mengungkapkan betapa saat ini Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) tidak banyak memiliki peran dalam menyeleksi mana film dan sinetron yang layak tayang atau tidak. “Salah satu tugas LSFI adalah menyensor tayangan yang, misalkan, ada unsur kekerasan, cabul atau merendahkan nilai-nilai agama. Tapi sampai hari ini masih banyak tayangan yang seperti itu,” tuturnya.

Hal itu juga, lanjut Encip, tak bisa dilepaskan dari tuntutan kejar tayang dari pada stasiun televisi yang bersangkutan. “Jadi, misalkan sebuah sinetron, tayangnya malam hari, bikinnya pagi atau siangnya. Baru sorenya diserahkan kepada LSFI. Kalau begitu, gimana LSFI bisa menyensornya kalau tidak ada waktu yang cukup,” terangnya. (rif)