Warta

Tentara Thailand yang Membunuh Ulama Harus Diadili

Jumat, 9 Januari 2009 | 01:28 WIB

Bangkok, NU Online
Perdana Menteri baru Thailand harus menjamin bahwa pasukan yang menganiaya dan membunuh seorang ulama Islam di wilayah selatan diadili. Demikian dikatakan satu kelompok hak asasi manusia, Kamis (8/1), dan menambahkan bahwa penyiksaan seperti itu akan meningkatkan kerusuhan di wilayah itu.

"Menghukum tentara yang membunuh seorang imam di dalam tahanan militer akan menjadi ujian pemerintah perdana menteri baru, Abhisit Vejjajiva," kata kelompok Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW), yang berpusat di New York, Amerika Serikat, dalam sebuah pernyataan.<>

Imam Yapa Koseng, seorang pemimpin agama berusia 56 tahun, ditahan Maret tahun lalu dan meninggal beberapa hari kemudian di dalam tahanan militer di wilayah paling selatan, yang berpenduduk mayoritas Muslim, tempat aksi perlawanan untuk memisahkan diri berlangsung.

Abhisit dipilih parlemen 15 Desember, dan berikrar akan menghentikan aksi perlawanan lima tahun, yang menewaskan lebih dari 3.500 orang.

Satu pemeriksaan yang dilakukan di provinsi Narathiwat bulan lalu memutuskan bahwa Yapa meninggal setelah dipukul tentara selama pemeriksaan, kata seorang jurubicara militer kepada AFP dan menambahkan mereka berencana memulai proses persidangan lima tentara.

HRW mengatakan, kematian imam itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang luas di wilayah selatan termasuk penahanan yang tidak sah dan sewenang-wenang dan penyiksaan termasuk pemukulan, penggunaan setrum listrik dan pencekikan.

"Pemerintah baru perlu merombak strategi kontra perlawanan yang mendorong penyiksaan, memberlakukan pengawasan sipil yang efektif atas tentara, dan memberikan ganti rugi untuk para korban penyiksaan," kata Direktur Asia HRW Brad Adams.

"Dengan menyandarkan diri pada tindakan represif dan membatasi hak-hak asasi manusia yang mendasar, pihak penguasa Thailand telah menciptakan satu tempat yang subur bagi perluasan perlawanan."

Wilayah selatan pernah menjadi satu kesultanan Melayu sampai Thailand mencapoloknya 100 tahun lalu, yang memicu ketegangan puluhan tahun. Pemerintah negara itu gagal mengekang aksi kekerasan itu. (afp/dar)


Terkait