Warta

Tidak Perlu Ada Dikotomi NU Kultural dan Struktural

Jumat, 25 November 2005 | 08:21 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Mujtahidur Ridho menyatakan bahwa dikotomi antara kultural dan struktural tidaklah penting. Hal itu akan semakin menambah persoalan saja. Ia menginginkan kedua kelompok ini bisa bersinergi dalam rangka membangun NU yang lebih baik.

“Saya tidak setuju jika harus ada dikotomi antara NU kultural dan NU Struktural,” demikiannya pada acara Halal bi Halal Dialog Meraih Kemenangan yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah IPNU DKI Jakarta, Kamis (24/11) di gedung PBNU Lt 8.

<>

Hadir juga sebagai narasumber pada acara yang bertajuk “Strategi Pemberdayaan Anak Muda NU; Upaya Sinkronisasi NU Kultural dan NU Struktural” itu Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, Drs H Amarullah Asbah serta Mantan Pjs Ketua Umum PP IPNU Abdul Azis.

“Kita harus menempatkan dua kelompok ini dalam posisi yang dialogis. Artinya bagaimana kelompok ini dalam posisi saling memberi dan menerima dan tidak saling berhadap-hadapan,” ungkap Edo, panggilan akrabnya.

Pada acara yang bertajuk Strategi Pemberdayaan Anak Muda NU; Upaya Sinkronisasi NU Kultural dan NU Struktural itu ia juga menyampaikan bahwa tema semacam itu adalah tema yang tidak berujung. Seringkali tema semacam itu menjadi bahan diskusi, tapi seakan tak ada habisnya.

Ia menyadari dikotomi tersebut benar adanya. Menurutnya hal itu merupakan akibat dari proses “persinggungan” (baca; konflik, Red) yang berlangsung dalam waktu cukup lama di tubuh NU. Dan puncaknya, ungkap Edo, terjadi pada Muktamar NU di Boyolali.
“Titik kulminasinya seperti yang kita lihat jelas pada Muktamar di Boyolali itu. Beberapa tokoh NU (ia tidak menyebutkan nama) mendeklarasikan diri sebagai NU kultural”, terang Edo.

Tidak jauh berbeda dengan Edo, Abdul Azis membenarkan fenomena adanya dikotomi tersebut. “Tema itu tidak ada habisnya. Menurut saya sudahlah kita akhiri saja pembicaraan soal itu. Sekarang saatnya kita berpikir bagaimana membangun NU ke depan dan khususnya IPNU ini,” terangnya.

Persoalan IPNU hari ini yang harus segera disikapi, kata Azis adalah persoalan kaderisasi. Ia melihat pengkaderan di tubuh IPNU tidak berjalan efektif. Padahal menurutnya pengkaderan itu adalah salah satu pilar organisasi. “Kalau pengakaderannya macet, organisasinya juga macet,” tandasnya.

Hal itulah yang menurut Azis harus segera dilakukan. Setelah persoalan pengkaderan itu selesai baru berbicara tentang bagaimana mengupayakan sinkronisasi antara NU kultural dan NU struktural.

Untuk persoalan itu Azis mengusulkan adanya ruang antara. Maksudnya, harus diciptakan ruang antara yang kultural dengan struktural. “Khususnya IPNU DKI (Jakarta, Red) kadernya kan beragam. Tidak bisa kan seorang kader yang gaul, ngomongnya ‘so what gitu loh’  diajak ngobrol (kitab, Red) matan jurmiyah. Nah, itu harus ada ruang antara untuk menjembataninya”, jelasnya.(rif)


Terkait