Warta

Trafficking Menyerupai Perbudakan

Kamis, 16 Februari 2006 | 05:15 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam pengertian tradisional, perbudakan di  Indonesia mungkin tidak ada lagi. Perbudakan merupakan pemilikan seseorang oleh orang lainnya. Ada bukti kepemilikan seperti BPKB, surat tanah, atau surat kepemilikan.

Namun demikian, orang yang diperbudak memiliki konsekuensi yang sama dengan perbudakan. Mereka mengalami pengurungan, penyksaan maupun kerja paksa atau digaji dengan tidak adil. Kondisi inilah yang banyak dialami oleh pekerja migran Indonesia yang banyak menjadi korban trafficking yang nasibnya menyerupai budak.

<>

Demikianlah paparan yang disampaikan oleh Anis Hamim dari ICMC dalam Dialog Publik : Upaya Pemberantasan Trafficking Manusia yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU bekerjasama dengan Dirjen Kesbangpol Depdagri di Ponpes Nurul Hidayah Depok beberapa waktu lalu.

Traffiking terjadi dengan proses perekrutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan dengan cara ancaman atau kekerasan, penculikan dan penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan pelacuran atau pornografi atau penculikan untuk kekerasan seksual atau kerja paksa dengan gaji yang tidak adil.

”Para pelaku menjerat korban yang ingin mencari kerja dengan menawarkan suatu jenis pekerjaan tertentu, biasanya untuk restoran, pabrik atau kerja pertokoan dengan gaji yang sangat besar dan menggiurkan. Namun nasib mereka berakhir seperti budak seksual,” tandas Hamim

Para sponsor pengerah tenaga kerja beroperasi di kota-kota kecil atau pelosok desa. Malangnya korban atau keluarga tidak memiliki akses informasi untuk memeriksa keabsahan operasioal atau izin kerja termasuk benar tidaknya janji yang ditawarkan.

”Saat ini sponsor itulah satu-satunya sumber informasi bagi mereka yang ingin mencari kerja, padahal pada saat yang sama mereka tujuannya bukan untuk membantu, tapi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,” imbuhnya.

Dalam hal ini sebenarnya pemerintah atau departemen tenaga kerja wajib menyediakan informasi yang memadai. Tapi pesantren atau masyarakat yang tahu informasi, bisa juga memberikan informasi yang menandingi informasi yang disebarkan oleh sponsor.

”Jika 5 persen dari 350.000 TKW atau TKI yang menjadi korban perdagangan manusia, maka terdapat sekitar 20 ribu korban trafficking. Ditambah pekerja domestik yang teraniaya maka secara total 122 ribu perempuan dan anak-anak yang menjadi korban,” katanya.

Salah satu metode yang digunakan adalah jebakan hutang. Para TKI atau TKW tidak pernah diharapkan membayar di awal, tapi bukan berarti gratis. Karena itu mereka ditampung dan dikurung agar tidak lari dan ini masih dianggap wajar. ”Apakah boleh kita mengurung suami ibu, mengurung anak ibu, tapi mengapa orang lain yang dikurung dianggap wajar,” tuturnya.

Karena Faktor Kemiskinan

Sementara itu KH Husein Muhammad yang juga menjadi salah satu pembicara dalam dialog tersebut mengatakan bahwa trafficking terjadi karena faktor kemiskinan. ”Kemiskinan bisa menimbulkan suatu aksi yang melanggar etika kemanusiaan. Inilah yang disebut oleh hadist nabi bahwa kefakiran atau kemiskinan dapat menghantarkan seseorang pada perbuatan yang mengingkari kebaikan,” kata Husein

Faktor kedua adalah masalah pendidikan yang rendah, yang memudahkan orang ditipu. Selanjutnya diikuti oleh faktor ketiga berupa subordinasi perempuan dalam struktur sosial yang dianggap sebagai makhluk nomer dua. Kondisi Ini menimbulkan implikasi yang jauh antara marginalisasi dan kekerasan.

Kyai asal Cirebon tersebut menjelaskan bahwa budaya konsumerisme juga mendorong seseorang untuk menjadi TKI atau TKW. ”Orang pergi ke luar negeri karena ingin kaya, ingin punya rumah, mobil dan lainnya,” tandasnya.

Maraknya trafficking yang sebagian besar korbannya adalah penduduk dari desa-desa yang dapat dikategorikan sebagai warga NU mendorong PP Fatayat NU untuk terus melakukan sosialisasi bahaya trafficking dan upaya pencegahannya di berbagai daerah seperti di Jember, Purwokerto, Sukabumi, Jakarta sampai dengan NAD dalam satu tahun terakhir ini. (mkf)


Terkait