Warta

Usulan Model Ahlul Halli wal Aqdi Tak Dibahas

Jumat, 21 Agustus 2009 | 05:09 WIB

Jakarta, NU Online
Usulan penggunaan metode ahlul halli wal aqdi atau penunjukan ketua umum PBNU oleh rais aam kembali mengemuka dikalangan warga dan pengurus NU. Untuk sementara, usulan ini belum masuk agenda karena ditolak untuk dibahas dalam halaqah pra muktamar NU yang diselenggarakan di Jakarta, 18-20 Agustus.

Pimpinan sidang komisi organisasi KH Masdar F Mas’udi menolak untuk membahas dan memasukkan dalam draft untuk memasukkan metode ahlul halli wal aqdi yang ditunjuk oleh rais syuriyah secara kolektif yang disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Pencak Silat (IPS) Pagar Nusa Fuad Anwar.<>

Fuad menjelaskan, ia menemukan fenomena di daerah para pimpinan cabang terpilih bertindak seolah-olah NU hanya diwakili dirinya dan menegasikan keberadaan pengurus lain dalam pengambilan kebijakan. Jika pimpinan NU dari pusat dan daerah ditunjuk secara bersama-sama, faktor dominasi individual ini akan semakin berkurang.

Masalah ini memang diluar agenda keorganisasian yang sebelumnya sudah direncanakan untuk dibahas seperti batasan usia badan otonom yang lahir berdasarkan usia, payung hukum asset dan kekayaan NU, tumpang tindih antara badan otonom, lembaga dan lanjah, qanun asasi dan sejumlah permasalahan lainnya yang menumpuk.

Metode ahlul halli wal aqdi ini pernah digunakan pada muktamar ke-27 NU di Situbondo Jawa Timur tahun 1984 yang akhirnya memilih Gus Dur sebagai ketua umum tanfidziyah NU. Persaingan kala itu bisa dibagi dalam kelompok Cipete yang dipimpin oleh KH Idham Cholid dan kelompok Situbondo. Pengembalian otoritas pada para ulama dan kiai akhirnya mampu mengakhiri dominasi kekuasaan KH Idham Cholid yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Dengan alasan berbeda, sekelompok anak muda NU mengusulkan agar muktamar kali ini hanya memilih rais aam dan rais syuriah PBNU, dan kemudian merekalah yang nantinya memilih ketua umum PBNU.

Beberapa alasan yang mengemuka digunakannya metode ini adalah untuk menghindari intervensi pihak luar, baik dari struktural birokrasi atau pihak tertentu yang berkepentingan, mengantisipasi politik uang, dan mengembalikan kewibawaan rais aam PBNU sehingga  tidak terjadi dualisme kepemimpinan, dan overlapping kebijakan.

Kalangan yang menolak penggunaan model ini menyatakan proses penentuan kepemimpinan ini kurang demokratis dan ketua umum PBNU, yang merupakan pelaksana kebijakan kurang memiliki wibawa dihadapan fihak luar atau pun dihadapan pengurus wilayah dan cabang NU. (mkf)


Terkait