Usulan NU tentang Rekonsiliasi Hamas-Fatah Hanya Berjalan 3 Pekan
Senin, 5 Januari 2009 | 09:17 WIB
Nahdlatul Ulama (NU) memandang bahwa perjuangan rakyat Palestina kuncinya adalah persatuan seluruh kekuatan di negara itu. Sebab, upaya rekonsiliasi antara kelompok Hamas dengan Fatah di Palestina kerap gagal.
Usulan NU tentang rekonsiliasi Hamas-Fatah yang salah satunya tertuang dalam Kesepakatan Mekah pada Februari 2008 lalu, hanya berjalan selama 3 pekan. Selebihnya, kedua kelompok terus berperang dan konflik tak pernah terselesaikan.<>
Demikian dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi dalam konferensi pers di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (5/1). Ia didampingi Endang Turmudi (Sekretaris Jenderal) dan Masykuri Abdillah (Ketua).
Hasyim menceritakan, pada 4 Februari 2008, ia bersama (almarhum) mantan menteri luar negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda bertemu Pemimpin Hamas, Khaled Meshall di Damaskus, Suriah.
Dalam pertemuan itu, Hasyim bersama Ali Alatas dan Menlu Hassan mengusulkan agar diupayakan rekonsiliasi Hamas-Fatah untuk tujuan membentuk kabinet koalisi. Selain itu, mengupayakan persatuan di antara rakyat Palestina serta persatuan Palestina dengan negara-negara Arab.
Khaled, kata Hasyim, menerima usulan itu. Ia pun berjanji akan bertemu Mahmoud Abbas (Presiden Palestina saat ini yang merupakan perwakilan Fatah) di Mekah, Arab Saudi, dan mengupayakan rekonsiliasi. Kesepakatan keduanya terjadi beberapa hari setelah pertemuan.
“Tapi, tiga minggu kemudian, mereka (Hamas dan Fatah) perang lagi. Pemicunya, kemenangan Hamas dalam pemilu tidak diakui Fatah. Itu bukti bahwa mereka belum bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” terang Hasyim yang juga Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu.
Hal demikian, imbuhnya, juga berarti bahwa Israel dan Amerika Serikat tak akan pernah membiarkan rakyat Palestina bersatu. Politik adu domba dan pecah belah akan selalu diterapkan pada Palestina.
“Saya katakan kepada Khaled, yang paling ditakuti penjajah adalah persatuan, bukan senjata canggih dan kekuatan militer yang memadai. Begitu pun yang dialami Indonesia saat melawan penjajah Belanda,” jelas mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jatim itu. (rif)