Jakarta, NU Online
Anggota FKB Ida Fauziah berpendapat UU Parpol yang disahkan pada 6 Desember lalu sudah merupakan langkah maju dengan adanya ketentuan minimal 30 persen pengurusnya harus perempuan. Kebijakan ini menjadikan perempuan tidak hanya sebagai obyek, tetapi juga subyek yang turut menentukan kebijakan.
Dalam UU Parpol psal 2 ayat 2 disebutkan bahwa pembentukan partai yang disyaratkan minimal dilakukan oleh 50 orang harus menyertakan perempuan sebesar 30 persen. Demikian pula, dalam pasal 2 ayat 5 ditentukan kepengurusan parpol tingkat pusat disusun dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan.
<>Dengan ketentuan ini, maka akan semakin banyak sumberdaya perempuan yang terlibat dalam pengambilan kebijakan publik, termasuk menjadi calon legislatif pada pemilu 2009 mendatang.
“Tak ada lagi alasan bahwa partai tidak memiliki kader perempuan untuk dicalonkan dalam pemilu legislatif,” katanya dalam Dialog Publik Sosialisasi UU Paket Politik yang diselenggarakan oleh Forum Kajian Muslimah yang terdiri dari PP Fatayat NU, PP Pemudi Persis dan PP Nasyiatul Aisyiah) di Gd. PBNU, Selasa (18/12).
Dikatakannya bahwa keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Parpol memungkinkan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti bupati, gubernur dan lainnya karena peran parpol sebagai sumber rekrutmen jabatan politik.
Data yang ada di Meneg Pemberdayaan Perempuan menunjukkan jabatan publik yang diisi oleh perempuan adalah hakim sebesar 16.2 %, menteri 4 orang, gubernur 1 orang, bupati dan walikota 9 orang. Pada pemilu 2004 lalu, keterwakilan perempuan hanya 11.6 persen yang menjadikan Indonesia menduduki peringkat 89 dari 186 negera dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
Ida menambahkan meskipun secara UU sudah diberi ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya dalam pengambilan keputusan publik, namun sejumlah kendala masih akan menghadang seperti masalah finansial untuk kampanye dan sosialisasi caleg, persepsi dari perempuan sendiri yang menganggap dengan menjadi anggota DPR harus keluar malam, sering kaluar kota bahkan keluar negeri sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri dengan baik.
Sementara itu Ani Soetjipto dari Pusat Kajian Kebijakan Politik Universitas Indonesia mengemukakan terdapat tiga persoalan kritis yang dihadapi oleh partai politik yaitu masalah keterwakilan kelompok marginal dan minoritas, good governance dan demokrasi internal partai.
Dikatakannya partai adalah representasi beragam kelompok dan menjadi saluran aspirasi dan kepentingan sehingga keterwakilan kelompok marginal seharusnya tercermin sejak awal pendirian. Dengan demikian, keterwakilan kelompok marginal seperti perempuan, pemuda, etnis dan golongan minoritas seharusnya terpenuhi.
Terkait dengan good governance, karena partai memperoleh dana subsidi dari pemerintah, maka seharusnya pengelolaan keuangan parpol dilaksanakan secara akuntable dan transparan.
Konflik yang melanda parpol juga masih menjadi persoalan serius karena sebagian besar parpol mengalaminya dan proses penyelesaiannya berlarut-larut, memerlukan biaya besar tetapi dengan hasil yang tidak memuaskan.
Ketua Umum PP Fatayat NU Maria Ulfa Anshor dalam pembukaan mengatakan keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan yang saat ini dihadapi oleh perempuan seperti angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, angka kematian bayi, gizi buruk pada perempuan sampai dengan rendahnya tingkat pendidikan perempuan.
Hadir juga diantara 180 peserta dalam acara tersebut ketua PP. Nasyiatul Aisiyah Evi Sofia Inayati dan ketua PP. Pemudi Persis Imas Karyamah, S.Ag. (mkf)