Wawancara

Ada Benang Merah antara Islam Indonesia dengan Marokko

Senin, 14 Mei 2007 | 10:44 WIB

Marokko merupakan salah satu negera dengan penduduk mayoritas muslim. Islam disana dikembangkan dengan menghargai tradisi lokal, seperti yang dilakukan oleh para dai ketika menyebarkan Islam di Indonesia. Berikut ini wawancara NU Online dengan Nasrullah Jasam, MA, alumni Ponpes Assidiqiyah Jakarta yang kini sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Abdul Malik Sa’di Tetauan Marokko, saat berkunjung ke NU Online pada pekan pertama Mei ini.

Bagaimana kondisi umat Islam Indonesia dan Marokko yang anda amati?

<>

Secara umum, untuk saat ini Indonesia masih mengalami eforia reformasi dan eksesnya masih ada, tapi belum terpola. Kalau di Marokko, sekuler, bahkan sangat sekuler, semua kekuatan dilepas. Artinya kita tidak heran ada dua perempuan, yang satu bercadar sedangkan yang satunya rambut terbuka. Ini bagian dari hak individu.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kalau dari segi kultural, Islam disana sangat kultural, bahkan ada buku yang ditulis oleh Greertz, judulnya Islam yang Saya Tahu, dengan mengambil kasus di Indonesia dan Marokko. Yang diangkat adalah sisi tasawwufnya. Saya pribadi pernah mengikuti ritual tasawwuf di Marokko, di tarekat Kodiriah Buziziyah, kurang lebih sama dengan di Indonesia, hanya saja kalau di Indonesia ada tarekat muktabarah dan sebagainya, kalau disana ada tarekat besar seperti Kodiriyah Buziziyah.

Persamaan ini juga bisa kita lihat, katakanlah dalam ritual orang meninggal. Kalau di Indonesia kan ada peringatan tujuh hari, 40 hari sampai dengan haul. Di Marokko ada juga komunitas seperti itu. Jadi ada benang merah. Kalau memang Syeikh Maghribi itu betul dari Marokko mungkin bisa terlacak, tapi sampai sekarang asal Islam di Indonesia masih kontraversi, jadi saya kira hampir sama, tidak puritan seperti di Arab Saudi, sangat kultural dan ramah terhadap budaya lokal.

Jadi itu mungkin kesamaan antara aswajanya NU dengan penghargaan terhadap tradisi lokal mereka?

Ya, bisa dibilang seperti itu, Marokko, Mesir dan Aljazair itu kan bukan Arab murni, mereka adalah musta’rob atau wilayah yang terarabisasi. Jadi ketika mereka masuk dan ingin diterima secara ramah, maka konsekuensinya seperti yang terjadi di Indonesia. Jadi bagaimana mereka bisa menerima tradisi lokal. Mungkin kasusnya seperti di Indonesia, kulitnya tidak dipertahankan tetapi secara substansi tidak dirubah. Misalnya di sana kalau pada bulan maulid, setiap tarekat ada yang melakukan semacam kholwat selama 30 hari, ada yang menghadiahi sapi yang besar dan gemuk. Justru model seperti ini banyak menarik orang-orang bule, karena Marokko kan berdekatan dengan Eropa, untuk belajar Islam. Jadi nuansa mistiknya kuat. Katakanlah daerah-daerah seperti Marakhes, kalau kita ke sana kita rasakan mistisnya sangat kuat.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Gerakan seperti salafy juga ada, tetapi tidak seekstrim di negera-negara Timur Tengah lainnya. Mereka bisa beriringan bersama dengan kelompok kultural. Jadi saya rasa unik dan sangat menarik untuk dikaji. Misalnya, ini yang perlu kita contoh dari Marokko. Untuk penentuan Idul Fitri, memang ada suara yang berbeda dari masyarakat, kenapa harus hari ini? tetapi ketika pemerintah sudah mengeluarkan fatwa bahwa besok sudah lebaran, maka seluruh masyarakat Marokko, baik yang ulama atau orang biasa pasti itu, jadi di situ kekuatannya. Ada hal-hal tertentu yang menjadi kekuasaan kerajaan. Karena apa, ini penilaiannya parsial, pada waktu puasa, hampir seluruh orang Marokko puasa karena memang dalam UU orang yang makan pada waktu puasa itu kena hukuman. Jadi kalau ia tidak mengikuti ketentuan pemerintah, ia bisa kena jerat oleh UU tadi. Kalau misalnya dia tidak ikut, pemerintah masih puasa dan lebaran baru besoknya, sementara ia sudah berbuka, maka ia bisa dijerat oleh hukum, kira-kira seperti itu. Jadi sangat menarik dan saya yakin ada beberapa kali dari Deplu bertemu dengan menteri agama Marokko, disana namanya wazir aukof. Saya yakin ada benang merah antara Indonesia dengan Marokko karena ada beberapa kesamaan dalam kehidupan agama.

Contoh lain, kalau di Indonesia ada istilah bubur merah, bubur putih, di Marokko pada momen-moment tertentu ada makanan tertentu, dan hanya keluar pada saat itu. Misalnya pada hari Jum’at, mereka makan kus-kus, kayak tumpeng, kemudian pada bulan Ramadhan, kita ada makanan tertentu, mereka juga ada. Dan yang jelas sangat tidak puritan.

Yang menarik, antara kelompok moderat dan Salafy di Indonesia kepentingan ideologi sangat terasa dan berusaha saling menjatuhkan, kok disana bisa berjalan beriringan?

Di sini saya lihat masalah kewibawaan penguasa. Kita bisa berbeda prinsip, tetapi dalam bernegara tidak boleh, karena diikat integrasi. Marokko memang kerajaan konstitusi, peran seorang raja masih sangat kuat. Bahkan masih ada beberapa kementerian yang memutuskan masih raja. Ketika kerajaan memutuskan lebaran besok, maka semuanya harus ikut. Bahkan wukuf pun itu bisa berbeda, maksudnya lebaran hajinya. Kalau ini berbeda, wukufnya tentu berbeda. Ini diamini oleh semua level. Mungkin ketidaksetujuan ada, tetapi tidak memprovokasi. Mereka meyakini bahwa ini fatwa dari kerajaan dan ini harus diikuti.

Kedua, ada beberapa tindakan yang disorot dunia seperti pengeboman, tetapi ini cepat diredam dan mudah diatasi karena mereka rata-rata tidak setuju juga dengan aksi seperti itu karena sudah ada komitmen bahwa pemimpin spiritual adalah raja sebagai amirul mukminin dan kebijakan harus keluar dari sana. Jadi saya kira kewibawaan pemerintah yang membedakan. Kalau di Indonesia, sebagai contoh dalam kasus lebaran. Kalau ada ormas yang menyatakan lebaran berbeda, Depag tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang perangkat hukumnya tidak ada. Tapi kalau disana tidak, kalau diputuskan hari ini, ya harus hari ini karena memang UU-nya jelas. Ini peranan pemerintah yang paling signifikan.

Tadi dikatakan Marokko juga menganut sekulareisme, dalam arti menghargai kebebasan individu, tapi dalam aspek tertentu sampai mengatur puasa ini bagaimana?

Saya kira ada bebeapa kebijakan kalau dilepas sangat sensitif, kalau dilepas akan menimbulkan perpecahan. Kebebasan ini yang sifatnya personal yang tidak mengganggu ukhuwah antar sesama warga Marokko, itu dipersilahkan. Karena ini kerajaan, ini artinya juga kebijakan yang tidak bersentuhan dengan politik. Misalnya mazhab, resmi Maliki, saya kira baik yang salafy atau tradisional itu pengikut Maliki, itu terefleksi dari wudhunya, bahkan dari wiridan yang mereka baca setiap sholat. Saya kira dalam sholat taraweh semuanya sama, hanya lagunya saja yang berbeda, yang dibaca saya kira relatif sama.

Yang saya maksud kebebasan dilepas ini yang sifatnya personal, jadi orang boleh tidak menggunakan jilbab. Saya misalnya kuliah di fakultas agama, tetapi mahasiswinya tidak berjilbab semua, tetapi ajaran tentang jilbab diajarkan, tetapi kemudian apakah ini keharusan, ini penilaian mereka sendiri. Misalnya kebebasan saya salafy dan tradisional, ini dilepas. Saya kira kuncinya satu, bagaimana aturan mainnya dibuat.

Berarti sekularisme bukan berarti pemisahan antara urusan agama dan Negara seperti model Barat?

Tidak, tak seperti Turki Utsmani juga harus dibedakan dengan Tunisia, Dalam beberapa hal Marokko tidak sekuler. Misalnya di Tunis, pernah presiden Burkibah, ketika berbicara didepan gedung parlemen, ia minum di bulan puasa, dengan alasan, “saya minum karena puasa dapat menurunkan etos kerja,” ini sudah pemaksaan terhadap orang untuk tidak berpuasa, dan pernah ia memanggil seorang perempuan berjilbab dan kemudian jilbabnya dicopot, “Kamu lebih cantik dengan tidak berjilbab dan lebih bisa berekspresi” ini sudah pemaksaan, tapi di Marokko tidak, memakai jilbab silahkan, tidak memakai juga tak dihukum. Artinya kalau anda menjalankan agama, itu berdasarkan keyakinan. Tidak atas dasar tekanan sehingga saat ini, para pemikir Marokko sangat bangga bahwa Islam di Marokko paling moderat. Terlepas dari fihak lain setuju atau tidak, harus dibedakan dengan Tunis, Turki, Aljazair. Jadi pengertian sekulernya seperti itu.

Atau mungkin mirip dengan Indonesia dimana pemerintah juga mengatur beberapa urusan agama seperti adanya UU Haji, UU Perkawinan, UU wakaf?

Kalau dalam ahwal syahsiyah, memang ada penggabungan atau kompilasi, tetapi tidak menafikan tradisi lokal, misalnya kemarin di Marokko, ada UU poligami, misalnya harus diatur, harus izin istri dan sebagainya, itu ada. Yang paling membedakan dengan Indonesia, ketika kran demokrasi dilepas, semua orang seolah-olah ingin menunjukkan dan ingin berkuasa, tetapi bagaimana kita maju tanpa menjelekkan orang lain. Yang kita jual itu apa sehingga orang tertarik, dan ini saya kira belum terjadi di Indonesia. Mereka dilepas, misalnya saya punya kawan di kampus, tahun pertama ia tidak berjilbab, tahun kedua ia berjilbab. Artinya tidak ada pemaksaan, atas kesadaran sendiri. Jadi yang dikedepankan nilainya, jadi orang melaksanakan perintah agama bukan dengan legalitas formal, bukan dengan label syariah islamiah, tetapi lebih pada keyakinan bahwa saya harus berbuat seperti ini.

Perkembangan komunitas NU disana bagaimana?

Mahasiswa Indonesia yang kesana sangat sedikit, saya kira cuma 40-an. Delapan puluh persen mahasiswa pascasarjana, hanya 20 persen S1 sedangkan 30 persen S2, sisanya S3. Sebetulnya Marokko punya jatah 15 orang untuk beasiswa di Marokko, tapi selama ini tidak berjalan lancar karena ada tumpang tindih. Depag menerima dan yang daftar sendiri juga diterima sehingga selalu tumpang tindih. Sekarang satu pintu, harus melalui kedutaan Marokko di Indonesia tetapi difasilitasi oleh Depag. Jadi ada test mukobalah, ada test lisan. Kalau tidak salah bulan Juli ini ada penerimaan, saya kira teman-teman bisa ikut untuk mendapatkan beasiswa. Kalau teman-teman NU memang belum melembaga seperti di Mesir dengan KMNU dan sebagainya, karena komunitas NU-nya terlalu kecil, kalau kita membentuk nanti malah menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dari teman-teman yang berhaluan lain. Jadi kita tetap personal saja, tetapi sering mengadakan halaqah, umpamanya informasi tentang NU bisa kita baca dari NU Online, kemudian kita juga bisa Gusmus.net, gusdur.net. Perlu diingat, dari dua kali kegiatan ICIS, perwakilan dari Marokko selalu hadir, pertama Dr. Dris Chalifa, yang kedua saya kurang tahu. Salah seorang dosen juga dari Marokko. Dan sebetulnya kegiatan ICIS II di Marokko, tetapi karena ketidaksiapan fihak Marokko, akhirnya dilimpahkan lagi ke Indonesia. (mkf)


Terkait