Wawancara

Ada Pasar Tradisional Sekejab, Lalu Sesudah itu Mati

Rabu, 15 Maret 2006 | 09:35 WIB

ACARA tahunan di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, pada 9-11 Maret lalu berlangsung sebagaimana biasa. Acara ini disebut sebagai "Haul Para Pendiri, Pengasuh dan Warga Buntet Pesantren". Masyarakat menyebut dusun atau kawasan Pesantren Buntet itu "Buntet Pesantren" untuk sekedar membedakannya dengan desa sebelah dusun itu yang bernama Buntet juga. Ribuan orang datang berjejal memadati dusun Buntet Pesantren itu untuk beberapa hari lamanya.

Panitia yang terdiri dari para keluarga pesantren menyelenggarakan kegiatan khas acara haul (tahunan) pondok pesantren seperti bahtsul masail (pembahasan masalah sosial-keagamaan terkini), ziarah kubur dan pembacaan tahlil, serta ceramah agama. Panitia juga menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial seperti donor darah, sunatan massal, dan pengobatan gratis. Nah, ada kegiatan sama sekali tidak dilaksanakan oleh panitia haul itu yakni "pasar tradisional sekejab" yang biasa disebut "pasar kaget" di kawasan dusun Buntet Pesantren yang justru lebih meriah dibanding acara haul itu sendiri.

<>

Di saat para pedagang pasar tradisional berlarian kesana kemari karena digusur oleh proyek pendirian mall, swalayan, super market dan modernisasi pasar lainnya, acara haul di pesantren-pesantren tradisional justru berarti pendirian pasar tradisional. Namun pasar tradisional di dusun Buntet Pesantren ini luar biasa dahsyatnya, lebih besar dari pasar tradisional pada acara Muktamar ke-31 NU di Solo, bulan November tahun lalu.

Jalan-jalan di dusun Buntet Pesantren sepanjang lebih dari 1,5 kilometer menuju podium utama acara haul dipadati oleh para pedagang. Ini belum terhitung para pedagang yang ada di gang-gang sempit di dalam kawasan pesantren --sedikitnya ada 20 asarama santri yang masing-masing dipimpin oleh para keluarga almarhum KH. Abbas Buntet-- atau para pedagang asongan yang masuk ke lokasi-lokasi acara inti. Para pedagang ternyata tidak hanya dari Cirebon, tetapi juga dari Semarang, Tegal, Solo, Blitar, Jakarta, bahkan ada yang datang dari Padang dan Palembang. Mereka menjajakan apa saja; mulai dari aneka pakaian, makanan khas daerah, makanan ringan, minuman segar, peralatan dapur, sampai mainan anak-anak. Sementara para pedangan yang biasa mengejar "pasar malam" tentu saja telah menyiapkan peralatannya dengan sempurna.

Jika Anda kebetulan melewati pasar itu pada dua, tiga hari menjelang acara atau bahkan pada hari terakhir acara haul itu anda akan berasa seperti di sekitar Ka’bah di Saudi Arabia sana pada musim haji. Pada Sabtu sore setelah acara ziarah kubur dan tahlilan, para pengunjung bahkan melintasi areal pasar itu dengan posisi tubuh miring, saking berjejalnya. Luar biasa.

Pasar tradisional ini bahkan ada dua minggu menjelang acara haul. Ahmad Satori, salah seorang warga yang juga masih keluarga pesantren, mengatakan, di Cirebon pasar tradisional musiman semacam itu hanya ada dua kali selama setahun. Namun di dusun Buntet Pesantren ini lebih besar. "Satunya lagi ketika musim panen tebu. Orang-orang Cirebon memang suka kumpul-kumpul begitu," katanya.

Ketua Panitia Haul, Mustahdi Abbas yang adalah putra ke-7 KH. Abdullah Abbas, mengaku tidak dapat membendung arus pedagang dan para pengunjung pasar tradisional itu. Menurutnya, para pedagang yang berasal dari Cirebon dan sekitarnya sudah berdagang pada tahun-tahun sebelumya. "Bahkan dari mulai kakek-kakeknya," katanya. Panitia haul tidak dapat berbuat apa-apa, hanya mengkoordinir dan mengatur para pedagang untuk kepentingan keamanan dan ketertiban.

Pedagang-pedagang itu, dan sebagian besar pengunjungnya, tidak datang untuk mengikuti acara haul. Mereka datang hanya untuk berjual-beli, meramaikan sekaligus ngalap berkah dari acara haul itu. "Karena keterbatasan sarana, kami hanya menyiapkan satu proyektor itu pun tidak jauh dari podium utama," kata Muhtahdi. Sementara di jalan-jalan menjauhi podium menuju lokasi pasar utama, para pedagang dan calon pembelinya berasyik-masyuk dengan pasarnya.

Tidak semua pedagang mendapatkan keuntungan. Ada yang aneh, ternyata. Seorang pedagang pakaian wanita mengaku rugi namun ia tetap berjualan. "Biasanya kalau habis berjualan di sini, meskipun tidak laku, kalau berjualan di tempat lain akan laris," katanya. Demikianlah. Sehari setelah acara selesai, pasar kaget itu bersangsur-angsur sepi. Pasar itu mati, dan menjelma kembali menjadi jalan umum dusun Buntet Pesantren. Para pedagang itu pergi entah kemana. (a khoirul anam)


Terkait