Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui beragam media, salah satunya seni. Kesenian memiliki macam-macam jenis, seperti sastra, lagu, lukis, hingga kaligrafi. Kesenian terakhir ini menjadi salah satu yang diperlombakan dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Perlombaan ini juga terus mengalami perkembangan.
Karenanya, peran serta kaligrafi dalam dakwah Islam tidak bisa dinafikan. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu, Pewarta NU Online Muhammad Syakir NF menemui H Didin Sirojuddin AR, Sang Maestro Kaligrafi Indonesia, saat menjadi dewan hakim pada MTQ Jawa Barat di Subang.
Ia aktif menjadi juri pada ajang MTQ cabang kaligrafi di tingkat wilayah, nasional, hingga internasional. Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga merupakan pendiri pesantren kaligrafi pertama di Indonesia, yakni Pesantren Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) yang terletak di Sukabumi, Jawa Barat.
Kenapa kaligrafi ini diperlombakan? Apa ada tujuan khusus sehingga lomba kaligrafi perlu dilakukan?
Kaligrafi dikompetisikan dilombakan dan dipamerkan itu dalam rangka lebih meningkatkan posisi tawar dan kenal terhadap seni Islam sendiri.
Kaligrafi disebut seninya seni Islam.Puncak dari seni Islam itu adalah kaligrafi. Kenalkita kepada kaligrafi itu apabila ada usaha-usaha mengenalkan dan cara cara mengenalkan kaligrafi itu antara lain dengan kompetisi yang sekarang itu sangat aktif di dunia.
Ada belasan kompetisi internasional. Dengan kompetisi-kompetisi tersebut, kaligrafi lebih dikenal. Mereka akan semakin tambah profesional itu hanya dengan cara dikenalkan, yaitu antara lain dengan lomba dan pameran, dan pembicaraan-pembicaraan tentang kaligrafi, melalui berbagai forum, misalnya forum diskusi atau juga tabloid yang disebarkan, kemudian seminar-seminar.
Dengan demikian, maka tujuan dari dakwah bil qalam (dengan pena) itu akan sampai. Jadi ada usaha untuk menyampaikannya melalui forum lomba itu tadi.
Kapan kaligrafi Arab ini mulai dikenal di Indonesia?
Kaligrafi di Indonesia masuk sejak awal masuknya Islam ke negeri ini. Ketika Islam datang, maka dakwah itu dimulai, yaitu dengan mengenal Al-Qur’an. Kemudian tulisan yang bagus mulai dikenalkan antara lain dalam panji-panji perjuangan. Misalnya ada ungkapan laa Ilaha illallah muhammadur Rasulullah dalam panji-panji yang dikibarkan pada saat peperangan melawan penjajah itu sudah ada.
Tapi sebelum itu, tentu ada di pesantren Syekh Quro misalnya di Karawang, kemudian Ampel Denta, kemudian ada lagi pesantren di Gresik itu sudah diajarkan mata pelajaran kaligrafi atau menulis indah yang diberikan oleh kiainya tetapi tentu dalam bentuk yang lebih sederhana dari sekarang.
Ketika Islam masuk, masyarakat muslim yang belajar dikasih pelajaran membaca Al-Qur’an dan pelajaran membaca Al-Qur’an dalam forum thalabul ilmi itu diiringi dengan menulisnya, bahkan kitab-kitab yang dipelajari oleh para santri terdahulu itu selalu diberi syarah, uraian dari kalimat-kalimat yang ada di dalamnya dengan kaligrafi yang indah menurut ukuran pada waktu itu.
Kaligrafi sudah dikenal di negeri ini sejak Islam dikenal.Tentu saja belum seperti jenis-jenis yang dikenal saat ini. Adapun kaligrafi yang kita ketahui dari abad 16 itu hanyalah dalam naskah-naskah Al-Qur’an. Kemudian ada surat-surat perjanjian atau yang disebut qaulul haq bagi baik perjanjian dagang maupun politis. Yang ditulis di situ biasanya menggunakan jenis tertentu.Yang paling banyak digunakan itu naskhi, tsulus, dan peranakannya.
Itu berarti jenis kaligrafi yang indah itu sudah dikenalkan dalam scope (cakupan) yang terbatas, tetapi belum menular kepada seluruh komunitas Muslim.
Apakah ada periodisasi dalam proses pengenalan kaligrafi kepada Muslim Indonesia itu?
Ada empat periode. Periode perintis di awal-awal Islam masuk sampai pesantren tua.Di masa ini, kita tidak mengenal tokoh kaligrafi, tetapi ada. Terbukti dengan adanya naskah-naskah tua itu tadi, berarti ada khattat (kaligrafer) itu, tetapi tidak populer seperti zaman sekarang karena perguruan kaligrafi belum ada pada waktu itu.
Periode kedua itu periode angkatan orang-orang pesantren. Nah, sejak itu kemudian lahirlah pesantren-pesantren yang diantaranya mengajarkan kaligrafi secara resmi gitu, tetapi yang diajarkan waktu itu baru terbatas.
Umumnya pada sekitar naskhi karena naskah itu merupakan kaligrafi pokok untuk di tanah air kita.Ya ditambah lagi riq’ah karena riq’ah diperlukan untuk menulis cepat. Berarti hanya dua yang paling banyak digunakan dan itu pula yang dikenal luas di mana-mana.
Kemudian pada periode kedua ini,di pesantren itu mulai muncullah usaha-usaha untuk menjadikan kaligrafi sebagai tujuan estetis gitu. Artinya tidak semata bersifat fungsional. Dengan adanya tulisan-tulisan kaligrafi pada masjid, misalnya, dengan bentuknya yang sederhana tentu.
Sampai abad awal 19 itu, masjid belum dikenal dengan kaligrafinya, tetapi memang ada masjid-masjid tua seperti Jogja sudah ada tulisan kaligrafi diukir, ada juga di bedug-bedug, bahkan ada aliran kaligrafi yang disebut kaligrafi macan Ali.
Nah, macan Ali itu kaligrafi dalam bentuk macan baik wajahnya maupun tubuhnya, isinya ungkapan tentang kesaktian Ali bin Abi Thalib Ali dan keluarganya Fatimah, Hasan, Husein.Itu masuk ke lingkup kaligrafi macan Ali.
Karena itulah, yang banyak ditulis terutama di wilayah Cirebon karena orang-orang Cirebon itu, waktu itu dan mungkin sekitarnya serta orang berguru ke Cirebon itu,mengagungkan Ali sebagai manusia yang punya kehebatan dan kesaktian sehingga kaligrafinya juga kaligrafi macan Ali waktu itu.
Dari kalangan Pesantren ini pula, nanti akan lahir mushaf-mushaf yang terus ditulis, terutama sejak abad 17-18 itu mulailah banyak mushaf ditulis di berbagai tempat yang lokasinya itu bisa diurut dari wilayah Ternate, Tidore terus-terus sampai ke wilayah barat itu Aceh, Cirebon termasuk disebut ada juga Makassar.
Mulailah mushaf itu ditulis di alat-alat yang mulai bermunculan di kertas daluang. Itu periode di ruang itu periode sesudah kertas lontar, daun lontar, warnanya agak kekuning-kuningan itu tapi kualitasnya itu itu jangan-jangan lebih bagus dari zaman kiwari.
Alat-alat lain seperti tinta pada waktu itu banyak diproduksi dari berbagai bahan di lingkungan, misalnya kalau dia warna kehijauan tentulah diambil dari daun yang warnanya hijau, yang coklat, yang kuning kan ada bunga-bunga itu.
Ya ada Za’faron, itu istilah bahasa Arab untuk tinta, ada juga beras yang dibakar hitam terus digunakan untuk tinta. Arang lampu. Lampu kepeng (teplok) itu kan kalau dibesarkan itu kan memunculkan serbuk hitam di atas itu ditampung, kemudian dijadikanlah tinta serbuk-serbuknya itu. Mulailah produksi tinta yang dibuat nafsi-nafsi waktu itu ya.
Itu sampai 1970-an itu berkembang yang namanya aktivitas menulis Al-Qur’an, terutama karena Al-Qur’an jadi sasaran ekspresi para seniman apapun. Bikin kaligrafi untuk Al-Qur’an menghias untuk Al-Qur’an juga.
Kemudian muncul angkatan pendobrak dan pelukis.Nah,ini titimangsanya bisa dilihat dari tahun 1970-an akhir. Ketika tahun 1979 itu ada pameran seni Islam pertama di Semarang, pada waktu lomba MTQ Nasional yang ke-9 di Semarang itu ada pameran seni Islami di situ.Muncullah kalangan pelukis karya-karya kaligrafi, tetapi karya-karyanya itu bertampang bebas gitu ya.
Nah, itu pada waktu sekarang itu kaligrafi ekspresionis figural, kaligrafi kontemporer. Pelukis dan pendobrak ini datang satu rombongan dengan istilah melukis kaligrafi Indonesia sehingga lahirlah apa yang dinamakan seni lukis Islam Indonesia, seni lukis kaligrafi Islami. Pada waktu itu, belum ada istilah itu seni lukis kaligrafi Islam di Indonesia.
Kemudian muncul lagi angkatan terakhir itu angkatan kader MTQ. MTQ ini merupakan suatu gerbong dan rombongan besar yang datang dan pola-polanya tersendiri. Sekarang, ada empat golongan, naskah, hiasan mushaf, dekorasi, dan kontemporer.Ya nanti akan saya akan terus usul kaligrafi digital.
Angkatan terakhir ini, angkatan yang lebih dahsyat, karena komunitas khattat-nya itu kan ribuan sehingga seluruh gagasan dengan perkembangan kaligrafi itu bisa diadaptasi seluruh khattat. Mereka sanggup menampilkan karya-karya seperti ini sehingga pola-pola itu lahir yang dahsyat.
Apa beda MTQ kaligrafi di Indonesia dan dunia sehingga lahir kaligrafer yang hebat?
Ada keistimewaannya lomba MTQ di kita itu, dibanding lomba MTQ Nasional, antara lain soal waktu yang digunakan itu delapan jam untuk lomba itu. Di luar, itu tidak ada lomba-lomba serupa. Umumnya berbentuk sayembara dan dibuat empat bulan sampai satu tahun setengah.Nah, ini untuk satu karya ini biasanya hiasan mushaf itu biasa satu lembar itu dibuat dalam delapan jam .
Menurut pelukis mushaf kaligrafi Iran yang datang bertamu di Pesantren Kaligrafi Al-Qur’an Lemka, namanya Selena dan Zahra Abasi. Kata mereka, itu delapan jam kok bisa cepat begitu ya. Kami itu sengaja membuat karya yang halus itu sampai dua bulan gitu.
Untuk pembelajaran kaligrafi sendiri, bagaimana gaya belajar mengajar kaligrafi di Indonesia?
Tradisi belajar kaligrafi di Indonesia juga dengan cara cepat.Misalnya di Lemka itu kan belajarnya setahun. Pada saat ada kompetisi kaligrafi ASEAN di Terengganu, saya berjumpa dengan orang Turki. Dia bilang apa yang dipelajari di Lemka? Saya jawab di Lemka diajarkan tujuh gaya khot tradisional dan lima gaya kaligrafi kontemporer dalam waktu satu tahun.
Dia bilang tidak boleh, itu melanggar tata tertib yang sudah konsensus di kami di Timur Tengah karena untuk satu mazhab huruf, misalnya tsuluts, itu butuh waktu sampai 3 tahun. Misalnya kemudian diwani sampai 2 tahun gitu. Sehingga tujuh gaya itu bisa 10 tahun.
Saya bilang gak bisa kalau di sini.Anak-anaknya itu terdesak untuk segera maju ke lomba dan itu hanya bisa kalau menguasai seluruhnya. Ternyata kami bisa memaksa mereka untuk bisa dalam waktu satu tahun.
Saya perlihatkan album MTQ, naskah ini, hiasan mushaf yang ini, dekorasi yang ini, kontemporer bagus-bagus ya ini. Berapa lama ini? Tujuh jam. Waktu tujuh jam yang lainnya delapan jam. Loh kok bisa katanya. Terus, saya berseloroh, jangankan ini, tuh Borobudur itu dibikin semalam kok. Bisa bantuan jin, setan, memedi, kuntilanak, segala macam di sini. Banyak produk yang jadinya waktu subuh seperti Tangkuban perahu saya bilang. Dia geleng-geleng kepala.
Ada santri Lemka dari Oman. Nasir al-Zuhri namanya.Dia betah sekali belajar di Lemka. Pernah belajar di Irak, Mesir, Yordania.Kok di sini di Lemka lebih enak ya, karena guru ngajar. Kemudian ketika ngajar itu seperti murid saja, seperti kawannya, dialog, minum bersama, dan lain sebagainya.
Itu di sana itu guru itu tidak sederajat dengan murid katanya. Ada jarak bahkan untuk ngajar satu huruf misalnya, satu huruf sekarang nggak selesai, besok dilanjutkan. Nggak bisa gegabah mah harus menyelesaikan sekarang.
Di Lemka itu kok semua pertanyaan dijawab. Seharusnya tidak dijawab langsung katanya, ditangguhkan berapa hari dulu tapi di Lemka kok langsung menjawab. Ya kan kata Rasulullah juga kita tidak boleh tidak menjawab pertanyaan itu nanti akan diproses ke neraka.
Di sini, guru murid itu sederajat, tetapi tentu ada perbedaannya pada saat-saat seperti ini, tidak ada kasta di sini. Akhirnya dia betah belajar di sini, enak gurunya juga, kok lebih ramah gitu, lebih murah hati. Kemudian guru dengan murid bisa bertarung di lomba, besok jadi murid dan guru lagi.Itu hal yang unik dia bilang itu. Mungkin di wilayah timur begini.
Berarti perkembangan kaligrafi sudah sedemikian pesat. Kalau begitu, apakah ada gaya kaligrafi khas Indonesia?
Indonesia itu saya nyatakan berkali-kali tidak punya gaya khas Indonesia.Yang ada, Indonesia itu menorehkan seluruh gaya-gaya dunia yang akhirnya sebagian dimodifikasi menjadi bentuk gaya-gaya masa kini atau kontemporer. Itu yang kayak itu menyesuaikan diri dengan alam lingkungan Indonesia, tetapi kalau disebut gaya khas Indonesia itu tidak ada.
Yang ada itu gaya individual, misalnya Saiful Adnan.Itu punya gaya sendiri gaya Saifuli saya sebut itu. Dia senang disebut gaya Saifuli. Terus Said Akram itu punya gaya sendiri buah-buahan, daun-daunan, pohon-pohonan, disebut gaya Akromi. Dia mau menerima. Terus Pak Amang Rahman, itu punya gaya Amani, karena hanya dia yang menulis begitu. AD Pirous juga begitu.
Kalau adapun adanya gaya individual Indonesia, tidak ada khas gaya Indonesia. Ini berbeda dengan khat-khat besar dunia, misalnya gaya Kufi, itu kan dari Kufah. Ada tsuluts dari kata sepertiga, yang waktu itu jadi ukuran standar huruf gaya Madani dan Makki. Kenapa kita nggak ada?
Karena kaligrafi ini kan sudah ready for use di sini, datang sudah jadi, tinggal dipraktikkan. Sehingga, tanpa banyak usaha untuk mencari identitas baru pun sudah cukup dengan yang ada. Kalau pun nanti ada misalnya modifikasi seperti tadi modifikasi untuk kaligrafi kontemporer. (*)