Pojok Baca Nahdliyin, Perkuat Literasi di Berbagai Pelosok Daerah
Sabtu, 29 Agustus 2020 | 23:30 WIB
Arif Budiman (kiri) saat meresmikan Pojok Baca Nahdliyin di Sukonatar-Srono, Banyuwangi. (Foto: dok. istimewa)
Membaca buku maupun bahan bacaan cetak lainnya saat ini dapat dikatakan merupakan aktivitas yang langka. Pasalnya, baik buku dan berbagai media cetak sudah bisa diakses dengan mudah melalui smartphone yang dilengkapi dengan berbagai macam platform media sosial dan banyak aplikasi digital, termasuk e-book bisa diakses kapan saja.
Perkembangan teknologi digital tersebut sedikit banyak ikut mengikis budaya membaca masyarakat Indonesia yang memang sejak dulu persentasenya rendah dalam hal membaca buku. Literasi pun beralih pada penguatan literasi digital. Namun, edukasi literasi digital nampaknya tidak cukup untuk masyarakat agar terhindar dari berbagai macam informasi hoaks.
Berbagai problem tersebut menjadi keprihatinan seorang Arif Budiman, Kader NU dari Banyuwangi, Jawa Timur. Ia bersama puluhan aktivis literasi mendirikan Pojok Baca Nahdliyin di berbagai pelosok daerah. Selain tetap berupaya menghidupkan budaya membaca masyarakat Indonesia, Arif juga terdorong agar masyarakat mendapat asupan bacaan yang baik dan benar, terutama dalam hal persoalan agama.
Berikut petikan wawancara Redaktur NU Online, Fathoni Ahmad dengan Arif Budiman saat dirinya berkunjung ke Kantor Redaksi NU Online di Jakarta, Selasa (25/8) lalu. Ia berada di Jakarta untuk beberapa hari serta untuk keperluan mendirikan Pojok Baca Nahdliyin di beberapa lokasi di Ibu Kota.
Bisa dijelaskan singkat mengenai Pojok Baca Nahdliyin ini?
Pojok Baca Nahdliyin merupakan perpustakaan mini yang didirikan dengan tujuan menambah minat baca sekaligus wawasan keilmuan bagi generasi muda. Sehingga tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas, berbudi pekerti luhur, toleran, dan cinta tanah air.
Prinsip Pojok Baca ini ialah dari Nahdliyin, oleh Nahdliyin, dan untuk Indonesia. Pojok Baca Nahdliyin Insyaallah akan berdiri diseluruh pelosok negeri tanpa terkecuali, tentu kontribusi Anda semua juga sangat berarti.
Bagaimana awalnya Anda menggagas pendirian pojok baca ini?
Berawal dari keprihatinan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Dengan membaca, saya yakin buahnya akan lahir generasi-generasi baru yang cerdas, kritis, mampu menggunakan nalarnya secara lebih jernih. Generasi yang akan berani mengatakan ”Say No to Hoax”. Insyaallah.
Sudah berapa titik Pojok Baca Nahdliyin berhasil didirikan?
Alhamdulillah, sekarang ini sudah berdiri 50 Pojok Baca Nahdliyin. Ratusan buku, terutama buku bertema ke-NU-an dan ke-Aswaja-an telah kami sebar di berbagai daerah. Dari Banyuwangi, Gresik, Semarang, Brebes, Purbalingga, Cileungsi Bogor, DKI Jakarta, hingga Tulangbawang Lampung.
Insyaallah dalam waktu dekat, Pojok Baca Nahdliyin akan berdiri di kantor PCNU Denpasar dan PCNU-PCNU lain di Provinsi Bali.
Bagaimana buku-buku itu Anda dapatkan untuk mengisi Pojok Baca?
Itu salah satu kendalanya selama ini. Yakni ketersediaan buku-buku khususnya yang temanya ke-Aswaja-an dan ke-NU-an yang memang harus kami cari sendiri dan kami sebarkan ke tiap Pojok Baca Nahdliyin kami.
Bagaimana solusi untuk mengatasi kendala itu?
Saat ini solusinya yang praktis menurut saya adalah kami dan teman-teman pegiat Pojok Baca Nahdliyin yang berjumlah kurang lebih 20 aktivis melakukan door to door mendatangi tiap lembaga dan banom untuk 'nodong buku'. Bila perlu kami datangi juga kediaman tokoh-tokoh NU untuk kita 'nodong buku'. Hehe...
Apa selama ini sudah ada koordinasi dengan LTNNU terutama dalam penyediaan buku-buku?
Secara resmi belum ada koordinasi dengan pihak LTNNU. Kami sementara berjalan secara organik dengan memanfaatkan berbagai jaringan dan relasi yang ada dalam penyediaan buku-buku.
Apa rencana ke depan untuk mengembangkan Pojok Baca Nahdliyin ini?
Rencana ke depan terkait Pojok Baca Nahdliyin ini, harapan kami adalah Pojok Baca Nahdliyin dapat terus tumbuh dan berkembang. Dan semoga Pojok Baca Nahdliyin bisa menjadi wadah dari tumbuhnya generasi-generasi muda NU yang kritis, cerdas, dan berwawasan maju namun tanpa melupakan akar tradisinya.
Ngomong-ngomong, siapa tokoh yang tepat dijadikan panutan dalam membaca buku?
Gus Dur. Gus Dur ini ibarat kitab tersendiri. Kitab yang bebas tafsir bahkan bebas makna. Gus Dur pejuang demokrasi? Ya! Gus Dur pejuang pluralisme? Ya! Gus Dur pejuang humanisme? Ya! Gus Dur sarat makna.
Gus Dur berani, Gus Dur istiqomah atau ajek mempertahankan pendapat dari apa yang menurut beliau benar, dan lain-lain. Demikian hal yang dapat kita kenang dari beliau.
Gus Dur sosok jenius dan cerdas. Jamak kita ketahui bersama betapa hobi beliau yang paling beliau sukai adalah membaca. Saat beliau studi di Mesir dahulu, beliau pun lebih asyik memanfaatkan waktunya untuk membaca di perpustakaan sebuah kantor kedutaan.
Buah dari hobinya, yaitu membaca inilah yang membuat Gus Dur tampil berbeda. Hobi membacanya ini pula yang menurut saya mampu melahirkan sikap yang kritis dan penelaahan suatu masalah dengan lebih jernih dan mendalam.
Ada pesan terakhir, terutama untuk generasi muda?
Monggo (silakan) bergabung bersama kami dalam menumbuhkan kembali semangat literasi dan melahirkan kembali generasi cinta baca dan cinta buku. (*)