Wawancara

Tantangan Para Pengusaha Nahdliyin

Selasa, 5 Juni 2018 | 03:15 WIB

Tantangan Para Pengusaha Nahdliyin

Ketum PP HPN Abdul Kholik

Nahdlatul Ulama didirikan salah satu embrionya ialah atas dasar pendirian Nahdlatut Tujjar (kebangkitan perdagangan, ekonomi) oleh KH Abdul Wahab Chasbullah pada 1918. Pendirian perkumpulan para saudagar dari kalangan pesantren ini menunjukkan bahwa para kiai memperhatikan prinsip kemandirian.

Prinsip kemandirian dari sisi ekonomi tersebut menghadapi tantangan yang tidak mudah di era teknologi digital seperti sekarang, khususnya bagi para pengusaha NU yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Nahdliyin dan warga NU secara keseluruhan.

Untuk mengurai dan mengungkapkan sejumlah tantangan ekonomi bagi para pengusaha Nahdliyin dan dinamika ekonomi modern yang dihadapi oleh warga NU, jurnalis NU Online Fathoni Ahmad melakukan wawancara dengan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Abdul Kholik pada Senin (4/6) di Jakarta. Berikut hasil wawancara tersebut:

Kelemahan sekaligus tantangan seperti apa yang saat ini dihadapi oleh para pengusaha Nahdliyin?

Kelemahan pengusaha NU itu cuma, dan saya pikir bukan cuma pengusaha tetapi Nahdliyin pada umunya yaitu konsolidasi. Arrtinya, kita ini sering dipandang oleh orang luar mempunyai masa yang besar tetapi tidak terkonsolidasi dengan baik. Yang maksud tidak terkonsolidasi dengan baik ialah kalau seandainya Nahdliyin ini dapat dikomando untuk segala urusan, misal ayo kita beli beras dari toko A, dan semua nurut, wah itu akan jadi pasar yang dahsyat itu.

Kalau hal itu bisa kita tunjukkan, maka massa kita sangat powerfull dari sisi ekonomi dan pasar untuk bargain position untuk produsen atau bisnis. Begitu juga dengan pengusahanya. Tidak terkonsolidasi dengan baik, masing-masing bergerak sebdiri. Pernah dalam suatu pertemuan, ada yang tunjuk jari, Pak saya butuh sapi, ternyata dalam forum itu ada juga pengusaha sapi. Itu kan lucu.

Artinya?

Artinya, kalau pengusaha Nahdliyin dan warga NU ini terkonsolidasi dengan baik, kita tidak perlu orang luar. Contoh yang paling riil beras. Beras itu misalnya dari Karawang yang melakukan penanaman atau produsennya adalah petani Nahdliyin. Tetapi kemudian berasnya dijual ke Jakarta. Di Jakarta belum tentu ketemunya orang Nahdliyin, bisa saja pengusaha Tionghoa.

Kita yang di kota belum tentu beli berasnya di Karawang, tetapi belinya di Indomaret, Alfamart atau dari supermarket-supermarket yang lain. Jadi segi tiganya dari petani Nahdliyin lalu ke atas dulu ke non-Nahdliyin baru ke bawah lagi ke Nahdliyin. Dan yang menikmati rantai ekonomi itu yang jadi perantar ini. Petaninya nggak bisa banyak menikmati oleh konsumen yang tidak lain adalah Nahdliyin sendiri.

Coba kalau kita by pass sekarang, tanpa melalui pasar induk misalkan. Dari petani Nahdliyin langsung ke konsumen Nahdliyin. Maka benefit-nya ada dua tuh. Produsen Nahdliyin dapat benefit harga yang lebih baik, konsumen Nahdliyin juga memperoleh harga yang lebih baik. Jadi konektivitas antara pengusaha dan kaum Nahdliyin ini sangat penting.

Agar terkonsolidasi dengan baik, langkah di HPN seperti apa?

Sebab itu, di HPN sendiri sudah melakukan pendataan database para pengusaha NU. Tetapi data base tersebut didasarkan kepada kebutuhan khalayak atau anggota HPN. Sehingga yang ada kesadaran anggota untuk membesarkan organisasi karena telah sesuai dengan kebutuhan mereka.

Sebagai pengusaha, konsep itu penting, tetapi praktik jauh lebih penting sehingga gerakan-gerakan maupun-maupun proyeksi-proyeksi HPN ke depan akan terus berorientasi pada praktik-praktik ekonomi maupun melakukan pemberdayaan langsung kepada masyarakat.

Apa yang seharusnya dilakukan agar para pengusaha Nahdliyin bisa berkiprah di pasar global?

Pada dasarnya membangun jejaring, tidak hanya domestik, tetapi juga internasional. Karena harapan kita tidak hanya misal jadi pemain RT, tetapi juga pemain nasional dan pemain internasional. 

Karena selama ini yang banyak muncul kan pemain domestik, padahal orang NU juga banyak mampu bermain di level internasional. Contoh lain yang sederhana misalnya banyak pengusaha-pengusaha konglomerat itu kan melakukan investasi bekerja sama dengan perbankan internasional maupun pengusaha internasional.

Itu kalau kita paham prinsipnya dan tahu network-nya, itu bukan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh para pengusaha NU, wabil khusus para pengusaha di Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN).

Ini penting, sebab selain membangun jejaring internasional, langkah ini juga dalam rangka membangun confident atau keyakinan dan kepercayaan bahwa, pengausaha NU juga banyak loh yang sudah banyak berkiprah di level global, contohnya Mas Nurul Huda (Duta HPN untuk Eropa).

Bagaimana agar para pengusaha NU bisa mengakses pasar internasional?

Saat ini pengusaha kita yang sudah melakukan ekspor sangat banyak, baik produk sumber daya alam maupun produk manufaktur. Perusahaan manufaktur banyak di Karawang, lalu perusahaan saya di bidang listrik pernah ekspor ke Australia, ke Pacific Island. Perusahaan-perusahaan rotan apalagi, memang pasar mereka kan pasar internasional.

Perusahaan-perusahaan meubelair pada umumnya. Mereka harus sering melakukan exhibition atau pameran internasional. Jadi itu yang punya produk berorientasi ekspor. Kalau produk yang berorientasi impor juga harus kita galang, seperti Hong Kong sangat strategis. Karena Hong Kong dekat dengan Cina daratan. Jadi kalau ke pusat industrinya Cina, seperti daerah Xen Chen, Ghuangzou, itu penting bagi para pengusaha NU yang berkunjung ke sana.

Artinya tidak hanya bertujuan jalan-jalan?

Ya betul. Jadi ketika ke Cina tidak hanya melakukan wisata di tembok raksasa, tetapi juga melihat peluang bisnisnya. Di Xen Chen dan Ghuangzou itu banyak sekali pameran-pameran produk Cina di mana konsumennya di Indonesia itu banyak. Yang sekarang itu banyak diakses oleh pengusaha Tionghoa. Sehingga mereka berjualan barang dengan murah dibanding dengan orang lain.

Jadi kalau pedagang kita, baik grosir maupun distributor dan pedagang NU yang mau ikut bersaing dengan mereka, ya harus bisa mengakses barang yang harganya kompetitif, langsung ke sumbernya. Misal kan nih pengusaha elektronik di Kudus, tapi dia Cuma belanjanya ke Glodok, Jakarta Barat, ya pasti kalah, karena pengusaha yang dari Kudus sudah banyak yang ke Xen Chen, Ghuangzou. Jadi itu penting ya, tidak hanya bagi pengusaha yang berorientasi ekspor, tetapi juga impor atau yang mencari partner, mencari distributor, mencari investor dari luar. Itu dari aspek network ya dan menumbuhkan confident bagi para pengusaha NU.

Menghadapi era perkembangan teknologi digital, bagaimana seharusnya para pengusaha NU menyikapinya?

Dari kacamata sains dan teknologi, di mana sains dan teknologi itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan bisnis yang berkarakter Hi Tech, kiblat pada Eropa dan Amerika itu penting. Kita perlu meng-update akses-akses atau progres-progres teknologi yang mereka miliki sehingga kita tidak ketinggalan informasi.

Saya sendiri misalnya di bidang tenaga surya, itu paling tidak mengunjungi pameran di Eropa dua tahun sekali, ke Amerika juga dua tahun sekali. Itu bukan untuk jalan-jalan, tetapi untuk meng-update produk terbaru maupun teknologi terbaru. Dan itu sudah saya jalani selama 10 tahun. Karena kiblat-kiblat industri saya itu ada tiga, Amerika, Eropa, dan Jepang.

Tiga negara itu saya gantian selalu kunjungi, lihat pameran-pameran, perkembangan teknologi kaya gimana, produk-produk solution yang terbaru juga seperti apa. Sehingga ketika kita di sini berkompetisi dengan pemain asing, atau dengan pemain lokal sekalipun, kita tidak kalah. Kita punya wawasan dan punya understanding yang baik tentang teknologi terkini. Jadi itulah pentingnya Mas Nurul Huda sebagai Duta HPN untuk Eropa.

Kita itu di sini banyak yang pegang keagenan produk dari Eropa, dari Cina dan itu berpengaruh terhadap keberhasilan mereka dalam berbisnis. Jadi jaringan ke luar negeri tidak hanya dilihat dari kacamata jalan-jalannya, tetapi juga dilihat dari kiblat teknologi maupun produk-produk terkini, kita perlu mencontoh kepada mereka.

Terkahir, terkait pengangkatan Duta HPN untuk Eropa?

Di Eropa pertumbuhan orang Islamnya bagus, begitu juga dengan Amerika. Seperti di Amerika, yang banyak mengakses itu orang Islam dari India dan Bangladesh. Jadi misalkan Lebaran ke Amerika, kalau nggak ke masjidnya orang India, pasti ke masjidnya orang Bangladesh. Masjidnya orang Indonesia belum ada tuh. Baru ada di New York, itu juga baru imam saja, he he he...

Jadi selain membentuk Duta HPN untuk Eropa, Amerika menjadi next target. Kalau Jepang nanti langsung dibentuk PCP HPN. Kalau yang skupnya masih negara kita bentuk PCP, tetapi kalau skupnya region kita pakai pendekatan Duta. Seperti di Afrika nanti kemungkinan kita Duta dulu. (*)


Terkait