Ya, meninggalnya kiai yang akrab disapa Mbah Moen di Tanah Suci Makkah itu, tak hanya kehilangan bagi kiai, tetapi bagi NU, santri, umat, dan bangsa ini. Beragam kalangan mengungkapkan belasungkawa.
Selepas kepergian Mbah Moen, dua hari kemudian, NU kembali kehilangan salah seorang Pengurus PBNU, yaitu H Sulton Fatoni dalam usia muda. Selang seminggu, lagi-lagi NU salah seorang kiainya, yakni pengsuh pesantren Gedongan, Cirebon, KH Mukhlas Dimyati. Di dalam seminggu tersebut meninggal pula rais syuriyah di salah satu kecamatan Garut dan Tegal.
Meninggalnya para alim, menurut Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar adalah kegelapan mautul ‘alim mautul alam berarti kematian seorang yang alim sema dengan kematian alam. Dalam satu riwayat, kata kiai asal Surabaya ini, seandainya tidak ada ulama atau orang alim, manusia seperti hewan.
Menurut Kiai Miftah alim dalam ungkapan tersebut terutama mereka dalam penguasaan ilmu agama. Namun demikian, sebetulnya, alim dalam ilmu agama dan umum tidak seharusnya ada dikotomi. Seharusnya orang alim ilmu agama itu mengerti ilmu umum.
“Ilmu umum itu hasil dari peneleahan terhadap ayat-ayat kauniyah, kejadian alam, ada gempa, gerhana, hujan, semuanya itu ilmu. Hanya orang membedakan disebut umum karena rasulullah tidak membawanya secara ditetapkan sebagai salah syariat, ahkamus syar’i,” jelasnya.
Meninggalnya Mbah Moen, seorang ulama besar, kit mengingat ungkapan mautul ‘alim mautul alam. Bagaimana penjelasannya?
Iya, jadi kullu nafsin dzaiqatul maut, setiap jiwa akan merasakan kematian, siapa saja, termasuk di dalamnya para nabi, rasul, dan para penggantinya yakni para ulama. Kita mengetahui bahwa para nabi, para rasul yang digantikan warasatul anbiya, yakni para ulama itu karena mereka memilki ilmu, ilmu agamanya, bukan hanya ilmunya, tapi akhlaknya.
Jadi, wafatnya ulama membawa serta ilmu yang dimilikinya. Belum tentu kemudian ulama yang sangat hebat seperti Kiai Haji Maimoen Zubair itu digantikan oleh orang-orang yang setara di kemudian hari. Belum tentu. Tetapi mungkin juga muncul ulama-ulama yang barangkali di sisi-sisi yang lain memiliki kehebatan ilmu misalnya, amal dan karena itu kita tidak boleh pesimis.
Ya, tentu saja mautul ‘alim mautul alam karena ilmu merupakan cahaya di alam semesta ini, menerangi, cahaya petunjuk yang menerangi orang dari kegelapan kepada alam yang terang benderang, jadi mautul 'alim, mautul alam. Kematian orang berilmu ibarat kematian alam karena orang yang berilmu menerangi, memberi petunjuk kepada orang-orang yang perlu diberi petunjuk. Orang-orang yang perlu diberi petunjuk itu ketika tidak ada ilmu dengan kematiannya orang alim, terjadinya kegelapan. Itu yang dimaksud mautul 'alim, mautul alam.
Jenengan tadi menyebutkan jangan pesimis pasti pengganti-penggatinya. Jadi, akan tumbuh orang-orang seperti Mbah Moen?
Merupakan sunatullah bahwa sesuatu yang hilang itu selalu ada penggantinya meskipun penggantinya itu tidak seimbang bagaimana seorang Mbah Maimoen Zubair seorang yang berusia 90 tahun lebih akan digantikan orang muda. Tentu dari sisi pengalaman dan ilmu akan sangat jauh. Butuh waktu yang panjang untuk menjadi orang yang setara dengan Mbah Maimoen Zubair. Artinya bahwa orang-orang berikutnya harus meniru apa yang dilakukan Mbah Maimoen bagaimana memperoleh ilmu, bagaimana berguru kepada banyak orang, bagaimana mengamalkan apa yang sudah dikuasai karena ilmu tanpa amal ibarat pohon yang tiada buah, tidak bisa dinikmati. Orang-orang berikutnya harus melanjutkan agar ada pengganti-pengganti yang lebih banyak.
Apakah keinginan untuk ada pengganti Mbah Moen itu dibiarkan secara alamiah atau mendasainnya atau merekayasanya agar tercipta?
Penting melakukan rekayasa, makanya perhatian kepada lembaga pendidikan pesantren itu harus dilakukan. Para santri itu harus ditingkatkan kualitas ilmu dan amalnya.
Bagaimana rekayasanya untuk upaya itu?
Saya kira banyak ahli-ahli pendidikan pesantren, para kiai yang membikin metode-metode yang cukup bagus. Semua pendidik pesantren yang menekuni metode-metode pengajaran saya kira mereka berkreasi bagaimana ilmu bisa disampaikan lebih sistematis dan lebih dipahami oleh para santri.
NU sebagai lembaga ulama, kebangkitan ulama, apa yang harus dilakukan secara organisasi untuk menciptakan para ulama lebih banyak lagi?
Nahdlatul Ulama itu kan kebangkitan para ulama. Tentu saja memilikit tugas antara lain memerhatikan dan meningkatkan kualitas ilmu di masyarakat Nahdliyin khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Dan itu terus-menerus dilakukan oleh organisasi. NU didirikan dulu dengan tiga pilar yang kuat yakni Tashwirul Afkar, itu di bidang pendidikan dan pemikiran. Saya kira yang seperti itu harus menjadi program yang terus-menerus oleh setiap organisasi di setiap tingkatan mulai PBNU sampai tingkat ranting untuk memberikan pendidikan yang cukup kepada warganya.
Kemudian ada juga Nahdlatut Tujjar, kelompok pedagang. Ini artinya NU juga harus bergerak di bidang ekonomi karena ekonomi akan menopang pendidikan. Kemudian Nahdlatul Wathan, perhatian kepada tanah air. Ketiga itu saling menopang. Negara aman menjamin berlangsungnya kegiatan ekonomi. Ekonominya baik, pendidikan juga menjadi baik. Itu menjadi program kerja yang harus diperhatikan oleh NU dari tingkat pendidikan di rumah, sekolah, mulai yang paling bawah sampai tertinggi untuk meningkatkan kualitas-kualitas ilmu yang saya kira harus, karena adanya orang-orang yang wafat. Jangan sampai alam menjadi gelap gara-gara seorang alim meninggal, semua dalam kebodohan.
Bahkan di dalam kitab Li Madza Taakharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum (Mengapa Umat Islam Undur, dan Non-Muslim Maju) yang ditulis pemikir Mesir yang ditulis Amir Syakib Arselan karena dua hal. Umat Islam mundur karena situasi al-jahil ‘anil Islam. Orang Islam itu tidak mengenal ajaran Islam. Tidak mengerti ilmuanya beragama itu. Agama harus memberi manfaat kepada kemanusiaan, mengerti tentang kebersihan. Harus bersih tubuhnya, tempatnya, lingkungannya. Itu tidak dipraktikkan karena jahil 'anil Islam. Seperti orang memakai jam bagus, tetapi tidak disiplin (waktu). Yang kedua, sebab umat Islam mundur itu karena mutajahil 'anil Islam. Orang yang berilmu tidak mengamalkan ajaran agama Islam. Ilmunya sekadar ilmu, dipelajari, tetapi tidak untuk landasan untuk amal sehingga orang Islam menjadi tidak rasional. Kondisi mutajahil ‘anil Islam.
Nah, situasi ini ketika orang yang sesungguhnya berilmu dan mengamalkannya wafat, gelaplah dunia ini. oleh karena itu, situasi dua hal ini harus dihilangkan supaya orang Islam menjadi lebih maju. Disimpulkan dalam dua hal, yaitu al-jahil ‘anil Islam, orang Islam tidak kenal Islam, tidak belajar ilmunya, oleh karena itu tidak mengamalkannya, dan yang kedua al-mutajahil ‘anil Islam, pura-pura tidak tahu dengan ajaran Islam.
Punya pengalaman pribadi terkait keilmuan Mbah Moen?
Mbah Moen orang paripurna di dalam dua hal. Pertama, sangat mendalam ilmu agamanya. Kedua, sangat luas wawasan kebangsaannya. Dua hal ini yang tidak banyak di negeri kita. Nasionalis tidak mengerti agama, tidak religius. Yang religius, tidak mengerti wawasan kebangsaan. Oleh karena itu banyak orang yang beragama cenderung membenturkan agama dengan negara. Mbah oen tuntas dalam dua hal ini. Ilmu agamnya ‘allamah, sangat berilmu, faqih, orang yang sangat mengerti hukum agama. Kemudian mufasir, beliau pandai menafsirkan karena beliau syarat-syarat ilmiah penafsiran maupun syarat kepribadian, beliau kuasai. Dan itu menjadi modal besar para santrinya. Kita juga banyak belajar dari beliau, apalagi beliau aktif di NU sampai menjadi mustasyar di PBNU, sampai wafatnya.
Bagaimana beliau bergulat dalam kitab kuning, tapi mampu menempa diri menjadi seorang nasionalis sejati?
Ya, itu karena kearifan beliau.
Kitab kuning memmberi ruang kemungkinan seseorang menjadi nasionalis sejati?
Iya. Beliau, Kiai Maimoen, karena kealiman, karena kedalaman ilmu dan luas wawasannya, mampu mengkontekstualisasikan kitab-kitab kuning untuk kondisi-kondisi kekinian. Ada di dalam kuning hal-hal yang umpamanya tidak bisa diterapkan karena situasinya tidak memungkinkan seperti, Mbah Moen membaca dong kitab-kitab fiqih bab jihad, tetapi dalam situasi damai, tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Mbah Moen tidak seperti orang-orang yang baru belajar agama, ketemu tentang bab jihad, mereka kemudian ingin berjihad, padahal situasinya tidak memenuhi persyaratan. Di kitab-kitab kuning, misalnya di kitab hadits itu ada kata khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan pada masa lalu dalam sejarah Islam. Mbah Moen dan kiai-kiai lain tidak tertarik untuk mengubah NKRI menjadi sistem khilafah sebagaimana diupayakan oleh Hizbut Tahrir misalnya. Nah, itu bukti bahwa beliau orang yang bijak, mampu mengkontekstualisasikan apa yang tertera di dalam kitab lama yaitu, nilai-nilai yang relevan.
Apakah memaksakan teks pada kondisi yang tidak memenuhi syarat itu tidak bijak?
Itu tidak bijak. Ketika menerapkan apa saja yang tidak sesuai, misalnya perang dalam situasi damai, itu kan membuat kekacauan. Itu bukan bijaksana. Itu kezaliman.
Kalau khilafah itu dianggap kewajiban dalam setiap kondisi bagaimana?
Itu kekeliruan. Pasti kekeliruan. Mbah Moen buktinya tidak berpendapat seperti itu. Kalau umpamanya khilafafh itu tidak diterapkan sebagai kekeliruan, tentu kiai-kiai NU yang lebih dahullu memperjuangkan NKRI menjadi khilafah. Tetapi tidak satu pun kiai NU yang membaca tentang khilafah, kemudian ingin mengubah NKRI karena mereka paham wawasan kebangsaan. Karena mengubah NKRI menjadi khilafah itu akan menimbulkan kontrversi, perbenturan antarpenduduk Indonesia.
Pengalaman intens dan berkesan secara pribadi dengan Mbah Moen apa saja?
Ya banyak. Beliau guru saya. Saya pernah mesantren di Sarang meskipun sebentar. Beliau ulama sepuh yang sangat saya kagumi. Tutur katanya, tindak-tanduknya membuat hati kita dingin. Ilmunya sangat mendalam. Contoh di muktamar Jombang 2015, beliau mengutus putranya menanyakan kepada saya, bagaimana situasi muktamar kali ini, ya alhamdulillah aman semua persoalan bisa diatasi. Disuruh siapa kata saya, “abah menanyakan,” katanya. Mbah Moen menyuruh putranya menanyakan hal itu kepada saya. Yang lain, ketemu beliau saya selalu meminta didoakan, Mbah, minta didoakan, termasuk saya meminta doa untuk anak saya. Di muktamar itu, “mana putranya,” tanya Mbah Moen. Saya tunjukkan fotonya, terus didoin terus ditiup...”puah...”