Balitbang Kemenag

Karakteristik Masjid-masjid di Jawa

Kamis, 19 Juli 2018 | 04:45 WIB

Karakteristik Masjid-masjid di Jawa

Masjid Pethok Negoro (foto: brilio.net)

Jakarta, NU Online
Hasil penelitian Balai Litbang Semarang pada tahun 2015 yang dibukukan dalam bunga rampai Khazanah Islam Jawa, juga menyebutkan bahwa Setiadi David Hutama melihat kesejajaran antara tata letak masjid di Lemah Wungkuk Cirebon. Berdasarkan peta yang dibuat Belanda tahun 1719 dengan tata letak desa di Bali. Tata letak desa-desa di Bali terdiri atas empat titik, yaitu istana, wantilan (tempat pertemuan), pasar, dan desa kuil. Keempat titik itu terletak di perempatan dan dipisahkan oleh jalan perempatan sehingga keempatnya berada di sudut-sudut jalan.

Hal sama ditemukan pula di pusat kota Cirebon, tempat Kerajaan Cirebon berada. Ada empat titik yang dipisahkan oleh perempatan, yaitu istana, paseban (tempat pertemuan), pasar, dan masjid (Hutama 2003: 184-185). Namun, berdasarkan bukti penggalian sejarah di Wasit, Fustat, dan Yordan dapat diketahui bahwa dalam sejarah Islam pun masjid adalah salah satu elemen dari pembangunan kota (amsar). Masjid menjadi pusat kota dalam Islam, atau dibangun di tengah-tengah markas tentara (MilWright 2011: 673; Gazalba 1983: 281).

Masjid biasa dibangun berdekatan dengan rumah Gubernur dan berdekatan pula dengan pusat bisnis. Konstruksi abad kedelapan Masehi di masjid-masjid Samarkad, Yerusalem, dan Aman menunjukkan adanya ruang pemisah antara masjid dengan kantor administrasi atau istana. Ruang pemisah itu diisi dengan jalur yang digunakan untuk pelaksanaan upacara. Pemisahan ini terjadi pada masa Abbasiyah karena adanya pergeseran pusat kota dari masjid ke istana (MilWright 2011: 674; Gazalba 1983: 282).

Pola pembangunan kota dengan masjid dan istana sebagai pusatnya itu sejak awal perkembangan kekuasaan Islam di Jawa. Pendirian Kota dan Kerajaan Demak diikuti dengan pendirian Masjid Demak pada tahun 1478 M atau 1506 M. Pembangunan Masjid Cirebon dilakukan setelah Sunan Gunung Jati menjadi kepala pemerintahan. Masjid Agung Banten dibangun bersama dengan pembangunan Surasowan, sebagai ibu kota Kesultanan Banten. Masjid-masjid Agung di luar Jawa pun dibangun di pusat kerajaan, seperti Masjid Baiturrahman di Banda Aceh (Tjandrasasmita 2006: 78-80).

Fungsi dan pengembangan bangunan masjid pada perkembangannya ditentukan oleh perkembangan zaman. Fungsi sosial masjid yang telah berkembang pada masa Nabi Muhammad mengalami pergeseran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Masjid keraton memiliki beberapa fungsi yang berbeda dengan masjid desa atau masjid komunitas karena masjid keraton berfungsi pula sebagai tempat pengadilan, sedangkan masjid desa atau komunitas tidak digunakan untuk fungsi tersebut.

(Baca: Fungsi dan Bangunan Masjid Sejak Zaman Rasulullah)

Pada masa sekarang, ada berbagai ragam masjid yang berkembang di dunia Islam. Ragam masjid saat ini berkembang ke dalam beberapa bentuk, yaitu masjid patronase, ialah masjid yang dibangun dan dibiayai oleh syekh, pangeran, atau tokoh penting sebagai bentuk amal; masjid dengan negara sebagai klien/masjid negara (seperti masjid istiqlal); masjid yang dibentuk oleh komisi pemerintah daerah (seperti masjid Said Naum Jakarta); masjid untuk lembaga umum dan komersial (seperti masjid Salman ITB dan Masjid UI Depok); masjid proyek komunitas sosial; dan masjid sebagai Islamic Center (seperti di negara-negara Barat) (Lihat dalam Holod and Khan 1997).

Perkembangan itu menunjukkan kemampuan masjid untuk bersinergi dengan perkembangan hidup umat Islam. Masjid memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai pusat kohesi sosial umat Islam dan sekaligus bagi pengembangan budaya masyarakat muslim. Sementara itu, dalam bidang arsitektur, masjid terbuka terhadap berbagai pengaruh. Karena tidak adanya aturan tegas dari sumbersumber ajaran Islam mengenai model masjid, arsitektur masjid berkembang sejalan dengan perkembangan zaman.

Ada berbagai pengaruh yang bisa ditemukan dalam konstruksi masjid. Di Jawa, pengaruh Hindu bisa ditemukan jejaknya dalam masjid. Pengaruh budaya asing pun bisa ditemukan jejaknya di dalam masjid. Pengaruh Cina dalam masjid ditemukan dalam bentuk bedug dan atap bertingkat. Arsitektur dan simbol Jawa tampak, misalnya, di Masjid Demak. Masjid Demak dibangun dengan saka (tiang penyangga) dari kayu dan terdapat simbol kura-kura yang melambangkan tahun pembangunannya.

Pengaruh Arab tampak dalam inskripsi dan ornamen kaligrafi yang ada di masjid maupun di makam, seperti di Masjid Setono Gedong yang diteliti oleh Guillot dan Kalus (2008: 133 dst).

Buku Khazanah Islam Jawa juga mengulas beberapa masjid, yaitu masjid Mlangi, masjid Menara, dan Masjid Agung.

Masjid Mlangi mewakili masjid pathok nagara, Masjid Menara di Kampung Melayu Semarang mewakili masjid komunitas, dan Masjid Agung Kauman mewakili masjid agung, yang dalam jangka waktu lama berada di luar kekuasaan keraton Jawa. Masjid pathok nagara pada dasarnya adalah masjid komunitas, namun dibangun atas perintah Sultan dan berada di komunitas.

Masjid pathok negari/nagara di tempatkan di tanah perdikan (swapraja dan bebas pajak), di tempat ulama/kiai dan menjadi pusat pengkajian agama, khususnya hukum Islam. Para kiai tersebut berfungsi sebagai penasehat penghulu kerajaan. Pada masa Kasultanan Yogyakarta terdapat empat masjid pathok negari dan masjid agung menjadi yang kelima, sebagai pusatnya (Budi 2005: 6). Masjid Mlangi adalah salah satu dari empat masjid pathok nagari tersebut, selain Masjid Kasongan (dekat Bantul) dan Masjid Papringan (antara Yogyakarta dan Prambanan).

Masjid Mlangi yang berjarak hanya tiga kilometer dari Tegalrejo menjadi saksi Perang Jawa yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro. Salah satu guru di Mlangi, yaitu Kiai Taptajani, sangat dihormati oleh Pangeran Diponegoro dan memberikan saran pada Diponegoro untuk melakukan perang sabil melawan Belanda (Carey 2008: 89-90).

Masjid Menara yang berada di wilayah Layur Semarang merupakan masjid komunitas yang menggambarkan keragaman budaya pesisiran; pertemuan orang-orang Melayu dan Arab. Masjid komunitas ini menunjukkan dinamika penyebaran masyarakat Muslim, khususnya Arab dan Melayu di Nusantara. Masjid Manara sendiri merupakan saksi sejarah interaksi interetnik di wilayah pesisir utara Jawa. Masjid ini bisa diduga awalnya sebagai masjid sekunder, yaitu masjid untuk peribadatan sehari-hari, karena letaknya yang tidak jauh datri masjid Agung Kauman.

(Baca: Khazanah Islam di Jawa Sajian Balai Litbang Semarang)

Sementara itu, Masjid Agung Kauman merupakan salah satu dari tiga masjid agung di Semarang. Letak Masjid Agung Kauman awalnya berada di dekat alun-alun sebelum alun-alun itu berubah menjadi Pasar Johar. Masjid yang konon dibangun oleh Sunan Pandanaran/Pandan Arang, dibangun kembali karena terbakar pada tahun 1885 dan selesai dibangun pada tahun 1890. Masjid ini menarik karena terletak di jantung kekuasaan Kompeni dan kemudian kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Jawa Tengah.

Masjid Agung Kauman merupakan satu masjid jami yang lama keberadaannya tidak dalam kontrol keraton atau kerajaan Islam, melainkan dalam kontrol Bupati yang menjadi bawahan Kompeni dan lalu pemerintah Hindia Belanda sampai pada era kemerdekaan.

Kajian mengenai elemen keislaman di Pura Pakualaman dan Perjuangan Kiai Bishri Syansuri dalam buku tersebut juga memberikan dimensi berbeda dengan pengkajian masjid. Pengkajian Pura Pakualaman berarti mengkaji mengenai istana sedangkan pengkajian Kiai Bishri Syansuri mengkaji tokoh.

Pengkajian mengenai khazanah keislaman keraton, utamanya keraton yang menjadi bagian dari kerajaan Islam di Nusantara memiliki arti penting dalam membaca elemen Islam di pusat budaya Jawa yang dikenal akulturatif. Sementara itu, pengkajian tokoh agama menekankan dimensi sosiologis dalam pengkajian Islam itu sendiri. (Kendi Setiawan)