Balitbang Kemenag

Belajar dari Desa Watu Asa NTT untuk Penguatan Toleransi Berbasis Kearifan Lokal di Era 4.0

Rabu, 17 November 2021 | 09:15 WIB

Belajar dari Desa Watu Asa NTT untuk Penguatan Toleransi Berbasis Kearifan Lokal di Era 4.0

Masyarakat Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT) pada sebuah kegiatan. (Foto: sumbaupdate.com)

Penguatan harmoni dan toleransi berbasis kearifan lokal di Desa Watu Asa, Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan sebuah respons terhadap disrupsi beragama di era revolusi industri 4.0. Pengaruh era disrupsi ini dapat mengancam kehidupan beragama di Indonesia yang tentu akan mengancam pula eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Selain itu, penyebaran informasi dan hoaks yang berpotensi memecah belah umat beragama terus saja meningkat di sejumlah media sosial. Untuk itu, penting sekali penguatan toleransi dan kerukunan berbasis kearifan lokal di berbagai komunitas masyarakat lintas agama.

 

Menurut penelitian Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2020, era disrupsi belum berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat lintas agama di Desa Watu Asa. Hal ini dikarenakan kondisi wilayah Desa Watu Asa yang belum memiliki jaringan internet sebelumnya hingga pada April 2020 barulah jaringan internet masuk.

 

Akibatnya masyarakat Desa Watu Asa sulit untuk terhubung dengan pengaruh luar. Selain itu, hubungan kekeluargaan berbasis kearifan lokal yang dihidupi oleh masyarakat di Desa Watu Asa sangat kuat. Hubungan kekeluargaan tersebut lebih kuat dari pada perbedaan keyakinan yang mereka anut.

 

Peneliti menyebutkan, nilai-nilai kearifan lokal yang dihidupi oleh masyarakat dalam kehidupan setiap hari sangat berperan untuk menjaga kesatuan dan toleransi di antara umat beragama di Desa Watu Asa. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut antara lain: Palomai/palonggamai (saling tolong menolong meringankan beban), tana nua watu lisi (istilah yang menjelaskan keterikatan dan kesatuan yang terjalin sebagai orang bersaudara), pandula wiki (saling tolong menolong mengerjakan sesuatu), mandara (sistem barter di antara umat beragama), paoli (perkumpulan yang diadakan untuk membahas sesuatu yang penting).

 

Melalui nilai-nilai kearifan lokal yang dihidupi setiap hari ini menolong warga masyarakat untuk tetap memiliki relasi yang baik antara satu dengan yang lain sebagai saudara. Relasi yang baik menjadi modal utama untuk menjalani kehidupan yang aman dan damai.

 

Selain itu, nilai-nilai lokal ini pula membantu masyarakat Desa Watu Asa terus hidup dalam kebersamaan dan keharmonisan sekali pun berbeda keyakinan. Perbedaan agama tidak dilihat sebagai ancaman tetapi sebagai dinamika kehidupan yang mereka harus rayakan bersama. Karena itu, mereka hidup berbaur tanpa adanya sekat yang memisahkan kecuali soal makanan bagi umat Musilm. Karena bagi masyarakat Desa Watu Asa yang lebih utama adalah hubungan kekeluargaan dari pada perbedaan agama. Perbedaan agama tidak bisa menghilangkan ikatan persaudaraan mereka.

 

Nilai-nilai budaya yang merupakan kekayaan budaya lokal sebagai warisan para leluhur telah mendorong masyarakat di Desa Watu Asa untuk mempraktikkan toleransi beragama di tengah ancaman era disrupsi. Pada prinsipnya, nilai-nilai kearifan lokal yang dihidupi oleh masyarakat di desa ini telah mewakili nilai-nilai agama yang inklusif yang menekankan pada nilai kasih, nilai penghargaan dan penerimaan terhadap orang lain yang berbeda keyakinan.

 

Dari pengalaman masyarakat Desa Watu Asa ini, peneliti juga melihat bahwa nilai-nilai kearifan lokal memiliki pengaruh yang kuat dan menjadi fondasi hidup bagi umat beragama di Desa Watu Asa. Pada bagian ini, peneliti melihat bahwa pendekatan berbasis nilai-nilai kearifan lokal sangat strategis untuk membangun toleransi dalam konteks masyarakat agama di level akar rumput.

 

Sesungguhnya nilai-nilai lokal yang dimiliki merupakan identitas bersama dari sebuah masyarakat yang berbeda agama. Di sini, nilai-nilai kearifan lokal dapat berkolaborasi dengan nilai-nilai agama dalam membangun toleransi. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal yang juga merupakan nilai-nilai universal dari ketiga agama ini menjadi fondasi dan kekuatan untuk melawan era disrupsi yang menggerus toleransi antar umat beragama.

 

Lebih lanjut peran tokoh-tokoh kunci yakni tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama bersama pemerintah sangat penting sebagai pengambil kebijakan dan pengarah dalam kehidupan masyarakat di Desa Watu Asa. Melalui kewibaan yang dimiliki, mereka dapat memberi arahan dan pemahaman kepada warga masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan kedamaian sebagai orang bersaudara. Kewibaan tokoh-tokoh kunci ini menjadi salah satu kekuatan untuk menjaga warganya dari pengaruh yang ingin mengusik ketentraman hidup masyarakat dan toleransi antar umat beragama di Desa Watu Asa.

 

Nilai-nilai kearifan lokal yang dihidupi masyarakat Desa Watu Asa bersifat lintas batas yakni dapat dipraktekkan kepada siapa saja termasuk yang bukan bagian dari keluarga. Sekalipun nilai-nilai ini adalah sebuah konsensus dalam lingkup masyarakat tradisional, namun nilai-nilai ini dapat menjadi dasar dalam perjumpaan dan interaksi dengan kelompok lain yang tidak berasal dari desa ini. Nilai-nilai kearifan lokal ini tidak hanya diterapkan di antara sesama warga desa yang adalah keluarga, namun menjiwai kehidupan masyarakat desa dalam perjumpaan dengan orang dari berbagai latar belakang.

 

Sebab itu, untuk memperkuat basis kearifan lokal, Kementerian Agama perlu membekali para penyuluh agama terkait nilai-nilai toleransi dan kearifan lokal. Upaya tersebut juga perlu menyasar lembaga-lembaga pendidikan agar menginternalisasi kearifan lokal dan toleransi ke dalam setiap pembelajaran. Juga melalui basis keluarga penting memperkenalkan sejak dini melalui keteladanan hidup mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki seperti: menjaga relasi yang baik tanpa membedakan agama atau pun suku. 


Penulis: Fathoni
Editor: Kendi Setiawan