Daerah

Maulid Bentuk Syukur Nabi Muhammad Diutus Rahmatan lil Alamin

Kamis, 7 November 2019 | 04:00 WIB

Maulid Bentuk Syukur Nabi Muhammad Diutus Rahmatan lil Alamin

KH Syaikuddin Rohman saat mengisi acara di Masjid Al-Musthofa, Bakung, Udanawu, Blitar. (Foto: NU Online/Imam Kusnin A).

Blitar, NU Online
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW diselenggarakan umat Islam sedunia  sebagai bentuk ekspresi kecintaan, rasa syukur dan suka cita atas kelahiran yang merupakan utusan terakhir dengan membawa rahmat bagi semesta alam.                            
"Setiap bulan Rabiul Awal kita peringati Maulid Nabi karena bentuk syukur kita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mengapa kita bersyukur karena Nabi Muhammad membawa agama Islam yang kita anut sebagai rahmatan lil alamiin atau rahmat bagi semesta alam," kata KH Syaikuddin Rohman, Rabu (6/11).
 
Penegasan ini disampaikan Wakil Katua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Blitar, Jawa Timur tersebut disampaikan saat mengisi acara peringatan maulid Nabi aMuhammad SAW yang diselenggarakan takmir Masjid Al-Musthofa, Bakung, Udanawu.
 
Menurutnya, peringatan maulid merupakan bentuk syiar Islam yang tentunya bersifat ijtihadi, situasional, kreasi umat Islam, dan bersifat mubah. 
 
“Meskipun tata cara perayaannya berbeda, namun esensi dari peringatan tetap sama, yaitu gembira dan bersyukur atas kelahiran Rasulullah yang merupakan anugerah Allah yang patut senantiasa kita syukuri,” jelasnya. 
 
Dikemukakan, Imam Sayuti adalah orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi sebagai penguasa Irbil atau Raja Mudhaffar Abu Sa’id Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibnu Buktikin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. 
 
“Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus dan meneruskan pembangunan Masjid Al-Mudhaffari di kaki Gunung Qasiyun,” ungkap mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar itu.                
 
Bahkan di dalam kitab al-Fathur Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani dijelaskan bahwa hal itu sudah menjadi konsensus ulama.
 
Ulama sepakat bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid adalah Sultan Kurdi Mudhaffar Abu Sa’id Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktikin, penguasa negeri Irbil atau Irak.
 
Keterangan ini juga diakui oleh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, seraya menjelaskan sifat baik raja ini, yaitu seorang raja yang berotak cemerlang, gagah berani, berakal cerdas, alim, dan adil.
 
Lebih lanjut, Imam as-Sayuthi menjelaskan, lanjut Kiai Syaikuddin, betapa meriahnya format acara maulid yang diselenggarakan oleh Raja al-Mudhaffar itu. 
 
“Sebagian orang yang pernah menghadiri acara maulid yang diselenggarakan oleh raja al-Mudhaffar menghitung bahwa dalam acara tersebut disajikan lima ribu kepala kambing bakar, sepuluh ribu ayam, seratus kuda, seratus ribu roti, mentega dan tiga puluh ribu piring kue,”  ungkap Kiai Syaikuddin.
 
Menyitir perkataan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menegaskan dalam kitab Haul al-Ihtifal bi Dzikra Maulid ar-Rasul bahwa perayaan maulid bukanlah bentuk formal ibadah dengan tata cara khusus yang mengikat bagi yang melaksanakannya.
 
Namun segala perkara yang mengajak kebaikan dan mengumpulkan manusia dalam hidayah, serta membimbing mereka kepada hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Maka hal itu sudah mencapai esensi tujuan dari maulid Nabi.
 
Dengan demikian, bila memahami konsep perayaan maulid di atas, maka lebih pas mengatakan bahwa Raja al-Mudhaffar merupakan orang yang pertama kali mengemas perayaan maulid dalam bentuk formal acara yang resmi. 
 
Lantas siapa yang pertama kali merayakan maulid? Dengan tegas Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan bahwa orang yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah Rasulullah sendiri.
 
Dalil yang paling kuat dan paling jelas yang menunjukkan hal itu adalah hadits riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa Rasulullah mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa.
 
“Diriwayatkan dari Abi Qatadah al-Anshari bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Senin dan menjawab bahwa pada hari itulah dilahirkan dan wahyu diturunkan.”
 
Demikian pula riwayat dari Imam al-Baihaqi bahwa Nabi Muhammad melaksanakan aqiqah untuk dirinya setelah diangkat menjadi nabi. Padahal kakeknya, Abdul Muththalib telah melaksanakan aqiqah untuk beliau setelah di hari ketujuh dari kelahiran. Dengan demikian, Nabi melaksanakan hal tersebut semata-mata sebagai bentuk syukur atas lahirnya sebagai rahmat bagi semesta alam.
 
"Dari hadits di atas, bisa kita tarik kesimpulan akan bolehnya melakukan syukur kepada Allah atas apa yang dianugerahkan di hari tertentu berupa pemberian nikmat dan hilangnya mara bahaya, dan hal itu dilakukan setiap tahun bertepatan pada hari momen itu terjadi," tegasnya.
 
“Walhasil, bila Rasulullah sendiri yang merayakan hari kelahirannya, maka tuduhan bid’ah yang selalu ditudingkan pada tradisi ini akan tertolak dengan sendirinya" tandas Syaikuddin.                                  
 
Sebelum ceramah maulid Nabi, acara didahului tahlil dan istighotsah yang dipimpin oleh KH Muhaimin Basrowi dan usai ceramah ditutup dengan asyrakal atau mahallul qiyam
 
 
Pewarta: Imam Kusnin Ahmad
Editor: Ibnu Nawawi