Daerah

Sidik Jari Harus Berlaku Umum

Senin, 12 Desember 2005 | 03:18 WIB

Batam, NU Online
Pengambilan sidik jari harus berlaku umum supaya tidak terkesan memojokkan suatu golongan, dan bilapun jadi dilaksanakan untuk semua penduduk, biayanya harus ditanggung pemerintah.

Demikian rangkuman pendapat dari dua pejabat dan tokoh masyarakat yang diwawancara di Batam secara terpisah, Sabtu dan Minggu, mengenai wacana sepanjang pekan ini yang sensitif dan mengejutkan yaitu pengambilan sidik jari terhadap santri di pondok pesantren. Di Indonesia terdapat sekitar 3,5 juta santri berusia 7-18 tahun di 15 ribu pondok pesantren.

<>

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, Jumat (9/12) membantah kepolisiaan berinisiatif mengambil sidik jari santri untuk menanggulangi terorisme dan gerakan radikal. Polri, ujarnya, menginginkan penyidikjarian dilakukan dalam kaitan dengan nomor identitas tunggal dalam sistem informasi Kependudukan yang gunanya antara lain untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) nasional dan merupakan kewenangan Departemen Dalam Negeri.

Ketua Pendeta Hindu Indonesia, Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, ketika menghadiri peresmian kuil Hindu India di Batam, Minggu, di mana-mana di dunia, sidik jari diambil untuk kepentingan pembuatan kartu identitas seperti KTP dan surat izin mengemudi (SIM).

Jadi, katanya, kurang tepat bila pemerintah atau juga kepolisian hanya mengambil sidik jari kepada santri dan kalangan pendidikan Islam karena meski pernah terjadi kasus teroris, kejadian-kejadian itu seharusnya disikapi sebagai perilaku perorangan.

Pengambilan sidik jari, kalau pun tetap dilaksanakan dengan alasan untuk identitas kependudukan di negeri ini, hendaknya didahului suatu peraturan yang jelas supaya pemerintah tidak terkesan "over acting" (laku ajak), imbuhnya.

Sedang Arifin, kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Kepulauan Riau, pengambilan sidik jari hanya relevan untuk kelengkapan identitas kependukan seperti halnya catatan golongan darah.

Kalau hanya ditujukan kepada kalangan pesantren, katanya, pengambilan sidik jari akan mengesankan kecurigaan berlebihan-berlebihan sebab di dalamnya pun terdapat anak-anak berusia taman kanak-kanak yang tak mungkin menjadi teroris.

Pengambilan sidik jari seharusnya berlaku umum dan pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraan harus menyeluruh bukan hanya pada pendidikan di pesantren, kata Arifin maupun Arimbawa.
Mengenai pengawasan terhadap tindak tanduk lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, kata Arimbawa, perankanlah Badan Intelijen Negara (BIN) karena BIN berhak memata-matai semua orang dan kalangan.

Arifin berpendapat sebaiknya di setiap KTP Indonesia dilengkapi dengan sidik jari seperti juga pada setiap ijazah. Hanya saja" katanya, "penyidikjarian di KTP harus ditanggung biayanya oleh pemerintah, jangan lagi menambah beban warga."(ant/mkf)