Fragmen

Gus Dur Melawan Intervensi Soeharto

Kamis, 28 Januari 2021 | 11:20 WIB

Gus Dur Melawan Intervensi Soeharto

HM. Soeharto. (Ilustrasi: Nawacita Post)

Pemandangan umum paling menarik di Muktamar Cipasung, Tasikmalaya ialah Muktamirin terpecah akibat intervensi luar. Isu yang beredar, Gus Dur tak akan dipilih lagi karena ‘tidak boleh’ oleh Pak Harto. Akan tetapi sebagian Muktamirin ingin tetap mempertahankan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU.


Satu per satu pengurus cabang dan wilayah menyampaikan pidato. Sejak acara dimulai pukul 21.00 WIB, Gus Dur langsung tertidur lelap. Menjelang subuh, pemandangan umum selesai. Gus Dur dibangunkan.


Tanpa ini dan itu, Gus Dur langsung menjawab semua permasalahan dengan rinci sekali. Lalu ketua sidang bertanya kepada Muktamirin terkait laporan pertanggungjawaban PBNU masa khidmah 1989-1994, semua Muktamirin menerima. Tanpa interupsi tambahan, juga tanpa catatan keberatan.


Kalangan wartawan yang kontra dengan Gus Dur dan yang mem-framing (membingkai) dukungan terhadap rezim Soeharto tak lagi berani menulis pendapat Kadisospol Jabar atau Kadisospol ABRI yang keterangan-keterangannya memojokkan Gus Dur.

 


Setelah resmi terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU masa khidmah 1994-1999 dan dilantik oleh Rais Aam KH Ilyas Ruhiyat, Gus Dur mengadakan jumpa pers.


Para wartawan mencoba bertanya, apa kita memenangkan pertarungan kursi Ketua Umum PBNU yang semula alot dan diperkirakan Gus Dur tersingkir, tetapi menjadi tampak mudah. “Tanya saja Muktamirin. Gitu aja kok repot!” jawab Gus Dur singkat.


Dalam Fragmen Sejarah NU (2017), Abdul Mun’im DZ menjelaskan bahwa menjelang Muktamar ke-29 NU tahun 1994 di Pesantren Cipasung tersebut, Gus Dur menunjuk KH Munasir Mojokerto sebagai ketua panitia. Strategi Gus Dur tentu saja untuk menghadapi politik Soeharto yang hendak menyampuri demokrasi di tubuh NU dalam pemilihan ketua umum.


Saat Gus Dur sowan ke kediamannya, awalnya Kiai Munasir berpikir Gus Dur akan menjadikan dirinya sebagai bagian dari penasihat. Tetapi ternyata Gus Dur menjadikannya sebagai ketua panitia muktamar. Ia pun ragu karena kondisinya yang sudah cukup sepuh, sama seperti Soeharto.

 


Tapi sebagai bekas seorang panglima, Kiai Munasir mengetahui maksud Gus Dur. Sebagai seorang prajurit, ia tahu bahwa ini perintah yang harus dijalankan. Kala itu, Soeharto berusaha menghalangi Gus Dur untuk maju.


Hingga pada pembukaan saat Soeharto pidato, Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU oleh protokoler tidak diberi tempat duduk di kursi kehormatan para tamu. Akhirnya Gus Dur duduk di belakang bersama Muktamirin, sementara pimpinan NU yang lain bersama undangan di depan.


Saat memberikan sambutan, Kiai Munasir yang juga sebagai Ketua Legiun Veteran atau seniornya Soeharto mengatakan dengan lantang:


“Mohon maaf para hadirin semuanya kalau pelayanan muktamar ini banyak kekurangan. Soalnya ketua muktamar ini sudah sangat tua, sehingga tidak bisa memberikan yang terbaik untuk para Muktamirin dan undangan sekalian,” ucap Kiai Munasir.

 


Kiai Munasir melanjutkan: “Karena itu, janganlah memiliki ketua orang yang sudah tua renta seperti sekarang, banyak generasi muda yang lebih enerjik, lebih kreatif yang tahu aspirasi Muktamirin, tidak seperti saya yang tidak bisa berbuat apa-apa.”


Seketika seluruh Muktamirin bersorak. Karena mereka paham, kepada siapa sindiran tersebut dialamatkan, tak lain kepada Soeharto. Gus Dur hanya mengangguk-angguk karena jago tuanya secara tidak langsung telah mengkritik Soeharto.


Dampak Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya tersebut terus berkepanjangan. Kepengurusan KH Achmad Shiddiq tidak mendapat sambutan baik dari rezim Orde Baru Soeharto. NU sudah beberapa tahun tidak diterima Soeharto padahal sudah menjadi sebuah kelaziman kepengurusan baru ormasi, orpol, atau organisasi menghadap presiden.


Tetapi hal itu tidak membuat pengurus NU gusar. Justru beberapa kalangan menilai, NU sudah berada pada posisi yang tepat sebagai bagian dari independensi NU dari kekuasaan. Juga sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim otoriter dan korup itu.

 


Perlawanan Gus Dur itu mendapatkan saluran tidak hanya di kalangan NU muda, tetapi juga di kalangan aktivis pro demokrasi. Dinamika tersebut akhirnya menjadi perbincangan di Forum Demokrasi (Fordem).


Dalam sebuah pertemuan rutin, seorang aktivis demokrasi bertanya, “Bagaimana kelanjutan perseteruan NU dan Soeharto ini?”

 

“Gampang, sebentar lagi Soeharto juga akan datang menemui saya,” kata Gus Dur enteng disambut tawa para aktivis.


“Saya serius ini, jangan ketawa, ini bukan main-main,” ujar Gus Dur menegaskan. Tetapi justru kembali disambut gelak tawa yang semakin menderai.


Gus Dur memang serius. Ia merancang acara NU yang dipegang RMINU sebagai lembaga yang menghimpun puluhan ribu pesantren. Gus Dur menunjuk KH Hasan Mutawakil Alallah agar tidak terlalu kontroversial.

 


Rupanya Soeharto juga tidak mau kehilangan pegangan di NU. Soeharto berharap RMINU bisa dikendalikan. Sebab itu, ia memutuskan datang di acara tersebut. Dalam pandangannya, Kiai Mutawakil tidak membahayakan Orde Baru secara politik.


Pada hari yang ditentukan, Seoharto datang di acara RMINU. Di situ Soeharto tidak hanya bertemu dengan tuan rumah Kiai Mutawakil, tetapi Soeharto juga bertemu dengan pemilik acara sesungguhnya, yaitu PBNU yang dinakhodai Gus Dur.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon