Fragmen PAHLAWAN NASIONAL NU (5)

Saat KH Zainul Arifin Menggagas Rukun Tetangga

Kamis, 15 November 2018 | 05:17 WIB

Saat KH Zainul Arifin Menggagas Rukun Tetangga

KH Zainul Arifin (Dok. istimewa)

Kekuatan rakyat menjadi tonggak keberhasilan bangsa Indonesia, baik ketika berjuang melawan penjajah maupun saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu lewat agresi militer Belanda II. Bagaikan singa yang sedang tidur, sejumlah tokoh nasionalis dan ulama menggerakkan dan mengonsolidasikan kekuatan rakyat.

Kalangan pesantrena menilai bahwa rakyat Indonesia perlu disadarkan kekuatan ketika mampu bersatu demi bangsa dan negara Indonesia. Untuk tujuan ini, pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi basis perjuangan rakyat dengan menjadi ruang dan wadah pergerakan nasional.

Pesantren yang tidak pernah melepaskan diri dari akar sosial masyarakatnya, juga berupaya menggerakkan rakyat untuk berjuang menumpas penjajah. Para ulama pesantren seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Casbullah, dan ulama lain-lain menginginkan perjuangan yang dilandasi keyakinan terhadap Allah juga rasa cinta tanah air yang tinggi.

Terkait pengonsolidasian rakyat ini, salah seorang tokoh NU, panglima santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah KH Zainul Arifin Pohan menggagas sistem Rukun Tetangga atau RT, struktur terkecil dalam sebuah pemerintahan yang hingga kini masih dipraktikkan.

Namun, bangsawan Barus bermarga Pohan yang lahir pada 2 September 1909 ini berupaya membentuk ruang harmonis komunikasi warga sehingga konsolidasi perjuangan berjalan secara sistematis.

Pencetusan sistem RT yang dilakukan oleh Kiai Zainul Arifin ini berawal ketika pendudukan Jepang datang ke Indonesia. Dalam catatan Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, 2016), ketika Jepang masuk ke Indonesia, strategi politik ormas Islam berubah haluan.

Jika dengan Belanda, posisi ormas Islam berseberangan dengan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi Jepang (Nippon) menggunakan strategi berbeda dengan mendekati pemimpin-pemimpin ormas Islam. Terutama mendekati NU, ormas Islam yang dikenal paling menentang keberadaan penjajah di Indonesia.

Jepang mengajak ormas Islam sebagai bagian dari pendukung Nippon, sebagai saudara tua di Asia. Hal itu dilakukan oleh Jepang untuk mencengkeram kawasan Asia, terutama kawasan Asia Tenggara dalam perang melawan sekutu. Di bawah kendali Jepang, terjadi perombakan struktur politik serta ritme organisasi Islam.

Kala itu, KH Zainul Arifin mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ketika itu Jepang memberikan kewenangan organisasi Islam untuk melebarkan sayap dan lebih aktif dalam pemerintahan. Akhirnya, Kiai Zainul Arifin mengusulkan pembentukan tonarigumi, cikal bakal rukun tetangga.

Pada awalnya tonarigumi dibentuk di Jatinegara, Jakarta Timur. Kemudian berupaya diadopsi ke sebagian besar desa di wilayah Jawa. Dalam hal ini, Kiai Zainul Arifin dengan jeli melihat pentingnya sistem komunikasi warga setingkat RT. Dengan demikian, kultur dan hubungan komunikasi antar-warga terjaga dengan baik untuk kebutuhan pergerakan nasional lebih lanjut.

Perjuangan Kiai Zainul Arifin tak hanya mahir dalam memimpin barisan santri dan mengonsolidasikan perjuangan rakyat, tetapi juga mengajak para ulama untuk terus bekerja keras di jalur perjuangan.

Ario Helmy penulis buku KH Zainul Arifin, Panglima Santri: Ikhlas Membangun Negeri (2015) dalam artikel Tokoh NU KH Zainul Arifin dan Kemerdekaan Indonesia mengungkapkan, pada Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 ulama, 30 Juli 1944 Kiai Zainul Arifin menggugah para ulama untuk ikut berjuang. Seruannya itu dimuat dalam Harian Sinar Baroe 1944 p.3

"Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu, kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa."

Selang sebulan setengah sesudah pidato Zainul semakin bergelora menyeru umat Islam untuk menuntut dan mempertahankan kemerdekaan.

Hal ini disampaikannya dalam rapat membahas pembentukan Laskar Hizbullah yang diselenggarakan Masyumi. Serunya dalam Rapat Umum Umat Islam 13 September 1944 di Taman Raden Saleh, Jakarta tersebut:

"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, kalau perlu dengan jiwa raganya." (Harian Tjahaja, 15 September 1944, p.1).

Selanjutnya dalam Rapat Masyumi di Banten, 15 Januari 1945 Arifin menyasar generasi muda agar mempersiapkan diri menuju kemerdekaan:

"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai." (Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)

KH Zainul Arifin Pohan merupakan putra tunggal dari pasangan keturunan Raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing Natal, Siti Baiyah br. Nasution. Zainul Arifin lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. (Fathoni)