Internasional

Doa Bersama di Bukit Marwa, Wasekjen PBNU Ajak Teladani Ulama Nusantara

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 09:00 WIB

Doa Bersama di Bukit Marwa, Wasekjen PBNU Ajak Teladani Ulama Nusantara

Wasekjen PBNU, H Abdul Mun’im DZ saat Doa Bersama untuk kemerdekaan RI ke-74 di lantai 4 Bukit Marwa Masjidil Haram, Jumat (16/8).

Makkah, NU Online
Jasa para ulama dan muassis Nahdlatul Ulama dalam pembentukan karakter beragama di Nusantara tidak bisa dipungkiri lagi. Karya monumental para ulama di antaranya dalam wujud kitab-kitab salaf sangat kental mewarnai pemahaman dan perilaku beribadah serta bermuamalah dalam kehidupan sehari-hari.
 
Sebut saja kitab-kitab Sullamu al-Taufiq, Washaya, dan syarah-syarahnya karya ulama Nusantara Syeikh Imam Nawawi Al-Bantani mampu menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia. Isi kitab kecil yang selesai dibaca dalam sehari ini senantiasa dipraktikkan dan teguh diamalkan sepanjang hayat.
 
Hal ini nampak terlihat sekali dalam perbedaan praktik beribadah dan bersikap umat Islam Indonesia saat berada di Masjidil Haram bersama jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia. Sopan santun dalam aktivitas jemaah haji Indonesia di Kota Suci juga sangat terkenal.
 
“Jemaah Indonesia dalam berbagai kondisi masih berusaha shalat dengan berdiri. Shalat di Masjidil Haram mencari lokasi yang benar-benar suci,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, H Abdul Mun’im DZ saat Doa Bersama untuk kemerdekaan RI ke-74 di lantai 4 Bukit Marwa Masjidil Haram, Jumat (16/8).
 
Ciri khas ini harus terus dipertahankan sebagai identitas luhur Islam Nusantara. Syukur, doa, dan ungkapan terima kasih juga harus terus dipanjatkan dengan terus mengirimkan doa terhadap para ulama dan penulis kitab-kitab tersebut.
 
“Apalagi saat ini kita berada di Makkah yang menjadi tempat mustajabah dan menjadi awal perjuangan muassis Nahdlatul Ulama,” katanya di depan warga NU yang menunaikan ibadah haji pada 2019 ini.
 
Kiai Mun’im juga menekankan pentingnya warga NU untuk berkhidmah dengan berorganisasi. Pentingnya berorganisasi ini juga menjadi titik tekan pertama Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi.
 
“Hakikat NU adalah Qanun Asasi. Sumber tertinggi di NU adalah qanun asasi setelah Al-Qur’an dan Hadits. Mari baca dan telaah kembali karya Mbah Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang aktivis dan ahli manajemen,” jelasnya sekaligus menekankan pentingnya menjaga orisinalitas qanun sekaligus perlunya menyusun syarah-nya.
 
Menurut dia, organisasi (jamiyyah) sangat penting karena menjadi penguat agar tidak mudah terbawa arus pemahaman keagamaan yang saat ini deras mengalir. Jika warga NU tidak ikut wadah atau organisasi NU maka akan mudah terbawa arus. “Di pesantren, Aswaja diajarkan. Namun, perlu diperkuat dengan pentingnya berjamiyyah bersama Nahdlatul Ulama,” pungkasnya. (Muhammad Faizin/Musthofa Asrori)