Internasional

Lakpesdam PCINU Belanda Dukung Penguatan Legislasi Antikorupsi

Jumat, 28 Juli 2017 | 02:02 WIB

Leiden, NU Online
Lakpesdam PCINU Belanda bekerja sama dengan Iluni UI Cabang Belanda, PPI Leiden dan ICMI menggelar sarasehan Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia bertempat di Fakultas Hukum Univeristas Leiden Belanda  (24/7). Wakil Ketua PCINU Belanda Syahril Siddik menyebutkan bahwa sarasehan ini diselenggarakan dalam rangka memberikan respons akademik secara multidisiplin atas isu pemberantasan korupsi yang saat ini sedang hangat di tanah air.

Sarasehan dibuka dengan tiga pembicara kunci yang dilakukan secara daring, pertama paparan dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Umum ICMI Prof Jimly Asshiddiqie soal urgensi pelembagaan etika antikorupsi di masyarakat Indonesia yang dimulai dari pendidikan dan teladan dari para pimpinan lembaga negara dan tokoh masyarakat. Selanjutnya, Dr. Rumadi Ahmad Ketua Lakpesdam PBNU menyampaikan bagaimana pentingnya peran ormas Islam seperti NU dalam rangka terus menggelorakan jihad anti korupsi. Terakhir Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar FH UI yang membahas soal pentingnya pelibatan para akademisi dalam gerakan antikorupsi.

Sarasehan dibagi menjadi dua sesi dengan para narasumber, yaitu Omar Khalifa Burhan (kandidat doktor psikologi Universitas Leiden), Meta Aurelia (kandidat doktor psikologi VU Amsterdam), Maradona (kandidat doktor hukum Universitas Erasmus Rotterdam), Santy Kouwagam (kandidat doktor hukum Universitas Leiden), dan discussant Ganjar Laksmana Bondan (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia), dilanjutkan dengan sesi kedua dengan Oce Madril (direktur advokasi PuKAT UGM), Imam Nasima (pakar reformasi peradilan) dan Fachrizal Afandi (wakil rais syuriyah PCINU Belanda).

Sesi pertama yang difasilitatori Ketua Iluni UI Belanda, Hadi Purnama dibuka dengan Omar Khalifa yang memaparkan hasil risetnya soal persepsi masyarakat tentang nepotisme di Indonesia. Konsep nepotisme sebagai terminologi umum dan alamiah dipersepsi sebagai masalah dalam proses rekruitmen birokrasi. Omar juga memberikan catatan khusus soal definisi nepotisme dalam UU yang menurut dia masih bermasalah karena terlalu sempit dalam memandang isu ini dan tidak memasukan aspek pelanggaran prosedur sebagai kategori kejahatan nepotisme.

Sementara itu, Maradona dalam sesi lanjutan memberikan paparan soal bagaimana norma dan praktik tindak pidana korupsi yang menyangkut korporasi. Menurutnya salah satu masalah serius adalah tersebarnya aturan prosedur tindak pidana korporasi di berbagai macam UU  yang saling berbeda dan terkadang bertentangan.

Dalam beberapa kasus yang dia teliti bahkan terlihat aparat penegak hukum terlihat kebingungan dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi. Meski kemudian Mahkamah Agung baru-baru ini mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang mencoba memberikan definisi tentang pidana korporasi namun Maradonna memandang bahwa definisi yang masih luas ini memiliki potensi untuk disalahgunakan oknum penegak hukum dalam menindak korporasi. Maradona merekomendasikan perlunya penegak hukum untuk semakin giat menggunakan ketentuan tindak pidana korupsi untuk memberikan efek jera kepada korporasi sehingga akan ada pembelajaran penting ke depan untuk membangun kerangka pengaturan yang lebih sesuai.

Selanjutnya, Santy Kouwagam menjelaskan tentang korupsi sebagai istilah hukum dan refleksinya terhadap profesi pengacara. Korupsi sebagai sifat, untuk itu perlu adanya pembuktian terbalik terhadap tuduhan korupsi. Seseorang yang dituduh korupsi harus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi, seperti misalnya membuktikan rekeningnya yang bersih dari tindakan korupsi. Bahwa dengan mengembalikan uang hasil korupsi tidak akan menghilangkan tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Menurutnya korupsi yang berkaitan erat dengan bisnis  terjadi dengan cara long term relationship antara  pebisnis dan pejabat. Khusus untuk pengacara yang memiliki kewajiban profesi membela klien, pengaruh merupakan hal yang penting dalam proses pembelaan. Dengan memiliki pengaruh mereka bisa lebih leluasa untuk menjalankan model pembelaan yang mereka inginkan dalam proses beracara.

Di sisi lain, Meta Aurelia, kandidat doktor psikologi dari VU Amsterdam menyatakan bahwa salah satu alasan merebaknya fenomena korupsi di Indonesia dapat dilihat dari ketiadaan jaminan sosial yang baik yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat, hal yang memotivasi orang untuk melakukan berbagai hal agar dapat memenuhinya. Salah satu temuan riset Meta menjelaskan bahwa sebagai masyarakat komunal, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk menerima perilaku korupsi yang melibatkan kelompoknya,

Sesi pertama ini ditutup dengan paparan dari Ganjar Laksmana Bondan Dosen FH UI sebagai penanggap diskusi yang menekankan alasan dibalik prosedur penyidikan dan pembuktian hukum acara pidana korupsi yang dirancang dengan kewenangan luar biasa karena sifat tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara yang canggih dan tidak bisa didekati dengan prosedur yang konvensional.

Sesi kedua yang difasilitasi oleh Koordinator Bidang Hukum Lakpesdam, Yance Arizona, dibuka dengan paparan dari Oce Madrilyang menjelaskan bagaimana sejarah pemberantasan Korupsi di Indonesia hingga terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2002. Menurut Direktur Advokasi PuKAT UGM ini sebelum KPK, pemerintah cenderung membentuk berbagai macam lembaga antikorupsi dengan kewenangan yang sangat lemah ibarat macan ompong. Menjadi wajar saat KPK dibentuk pascareformasi sebagai lembaga independen yang kuat banyak perlawanan dari bayak pihak yang terusik dengan gebrakan pemberantasan korupsi. Mulai dari gugatan UU KPK ke MK hingga termasuk saat proses hak angket KPK di DPR saat ini dipandang Oce berhubungan dengan kasus yang sedang ditangani KPK

Imam Nasima selanjutnya memaparkan kondisi saat ini soal hak angket KPK dengan melakukan analisa dengan pendekatan institusional dan beberapa teori baru terkait ajaran pemisahan kekuasaan yang sedang hangat dibahas saat ini. Menurutnya hak angket DPR tidak bisa menyasar KPK jika terkait fungsi penegakan hukum pidana korupsi karena hal ini jelas merupakan domain kekuasaan yudisial. Hak angket saat ini yang cenderung tidak memiliki tujuan yang jelas menjadikan kuatnya dugaan adanya keinginan DPR untuk melakukan intervensi terhadap proses peradilan pidana korupsi yang sedang ditangani KPK.

Sesi ini ditutup dengan paparan Fachrizal Afandi, wakil rais syuriyah PCINU Belanda yang menggambarkan pola kontestasi antar lembaga negara dalam pemberantasan korupsi sejak KPK dibentuk. Mulai dari kasus Cicak-Buaya jilid 1 dan 2 hingga angket DPR saat ini. Fachrizal menemukan ada pola yang berulang berupa perlawanan balik dari berbagai macam pihak termasuk lembaga negara yang tidak puas atas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.

Fachrizal yang saat ini menempuh studi doktoral di VVI Universitas Leiden memberikan catatan untuk tetap melakukan penguatan pengawasan terhadap prosedur yang dijalankan KPK melalui pemanfaatan jalur pengadilan dan sekaligus mendorong DPR untuk serius menjalankan fungsinya dalam melakukan politik legislasi dengan segera membahas model pengawasan dengan pelembagaan Hakim Komisaris dalam rancangan KUHAP. Hal ini dipandang lebih konstitusional daripada menggunakan jalur politis melalui hak angket yang tidak jelas dan cenderung melebar ke mana-mana tanpa sasaran yang jelas. Red: Mukafi Niam