Internasional

Tradisionalitas dan Modernitas sebagai Arah NU Jerman

Selasa, 12 Januari 2021 | 17:05 WIB

Tradisionalitas dan Modernitas sebagai Arah NU Jerman

Salah satu kegiatan PCINU Jerman pada tahun 2019. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

Komunitas Nahdliyin di Jerman yang bermula pada tahun 2010 telah menjelma secara resmi menjadi Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman. Surat Keputusan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah dikantongi sejak tahun 2018 dan perizinan sebagai asosiasi yang terdaftar di pemerintah Jerman pun sudah diperoleh sejak tahun 2020.

 

Ketua PCINU Jerman M Rodlin Billah menyampaikan bahwa organisasi yang ia pimpin itu berjalan pada dua arah sekaligus, yakni pemertahanan tradisi dan penerapan modernisasi.

 

"Dengan segala keterbatasannya, tampaknya PCINU Jerman sedang meniti jalan menanjak untuk menjadi melting pot (peleburan) dua hal yang sering dikesankan bertolakbelakang: tradisionalitas dan modernitas," katanya pada Senin (11/1).

 

Ia menjelaskan bahwa pemerintah Jerman secara proaktif sedang mencari bentuk interpretasi dan implementasi terbaik dari Islam sebagai agama. Hal paling utama dari pencarian itu agar proses integrasi masyarakat muslim di Jerman dapat berjalan dengan baik. Pun nilai-nilai Islam dapat hidup berdampingan dengan 'Grundgesetz', konstitusi dasar negara Jerman.

 

Salah satu upaya terukur, misalnya, ialah inisiatif Kementerian Dalam Negeri Jerman berupa "Deutsche Islam Konferenz" (Konferensi tentang Islam Jerman) yang diadakan sejak tahun 2006. Fungsinya mempromosikan dialog antara pemerintah Jerman dengan berbagai komunitas muslim guna menemukan kesesuaian nilai-nilai Islam dengan dasar-dasar negara. Hal ini sejalan dengan Islam Nusantara dan Pancasila sebagai asas tunggal.

 

Istilah Islam Nusantara memicu kontroversi di dalam negeri sendiri. Tetapi, Jerman juga merasa tidak puas dengan gambaran 'Islam' yang selama ini telah hadir sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya.

 

Oleh karena itu, PCINU Jerman meyakini Islam Nusantara menjadi pilihan yang tepat bagi Negeri Panser itu. "PCINU Jerman percaya bila metodologi Islam Nusantara, dengan basis ahlussunnah wal jamaah yang menjadikan karakter moderat menjadi turunannya, dapat menjadi solusi alternatif. Mungkin saja ini adalah hadiah dari NU untuk Jerman," ujarnya.

 

Selain itu, mayoritas pengurus, anggota, juga simpatisan PCINU Jerman merupakan Nahdliyin yang menjadi tenaga ahli maupun pelajar dalam bidang sains dan teknologi dalam berbagai jenjang pendidikan, dari vokasi, S1 hingga S3, bahkan profesor dan dalam berbagai profesi dari bidang teknologi informasi, pesawat terbang, hingga virologi.

 

Dengan segala kelebihannya, khususnya melimpahnya insentif dari pemerintah maupun industri, pria yang akrab disapa Gus Oding itu mengungkapkan bahwa Jerman merupakan surga bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang-bidang tersebut. Meski tak dapat dipungkiri pula, bahwa sejarah Jerman yang berjalin kelindan dengan sejarah Islam juga merupakan daya tarik tersendiri bagi Nahdliyin yang mendalami studi Islam.

 

Gus Oding menegaskan bahwa tidak ada yang menahan proses transfer pengetahuan dan keahlian yang dimiliki para Nahdliyin ini untuk Indonesia pada umumnya ataupun NU pada khususnya, kecuali bila keinginan untuk berkhidmah telah sirna.

 

PCINU Jerman membuka pengajian kitab Aqidatul Awam karya Syekh Ahmad Marzuqi dengan syarahnya, Nurudh Dholam karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Nahdliyin Jerman juga mendiskusikan tulisan Ian Barbour dalam Religion and Science ataupun Stephen Hawking dalam A Brief History of Time.

 

Tidak hanya itu, mereka juga disuguhkan kajian fiqih bersuci melalui At-Tadzhib, Al-Muqtathafat; juga mendiskusikan beragam solusi agar Covid-19 tak begitu saja menyebar di berbagai pondok pesantren, hingga agar pembalut wanita Indonesia tak menjadi penyebab banjir sebab dibuang sembarangan di sungai-sungai.  

 

Upaya lain yang terus dilakukan adalah meneladani akhlak agung Nabi SAW dengan pembacaan Maulid Simtudduror, tak lupa juga akhlak para salafush shalih, muassis, serta masyayikh dengan pembacaan manaqib dalam peringatan haulnya.

 

Hal itu didukung dengan menemukan cara mengejawantahkan berbagai teladan mulia tersebut melalui Digital Transformation hingga Sustainable Development Goals.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan