Jakarta, NU Online
Untuk menjadi seorang petani tidaklah mudah bagi seorang Sarjana Islam seperti Ustadz Nurazmi. Latar belakang pendidikannya yang terbilang tinggi dibandingkan dengan teman sejawatnya di Pedekik, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sempat membuat pria 49 tahun itu segan jika harus kembali menjadi seorang penggarap lahan atau ladang.
Kenyataan di masyarakat memang tolok ukur harkat dan martabat seseorang tinggi, jika memiliki jabatan atau memiliki profesi di dunia pemerintahan. Tidak dengan seorang petani atau pekerja informal lain yang berpenghasilan standar dibandingkan pejabat negara.
Menurut Nurazmi, pemahaman itu harus diluruskan. Sebab, dalam ajaran agama apa pun, harkat dan martabat itu akan tinggi jika orang tersebut berguna bagi nusa bangsa, agama dan negara, terkhusus untuk keluarga dan lingkungannya.
Pria yang lahir di Pedekik, Kabupaten Bengkalis 10 Desember 1971 ini beberapa kali mendapatkan cemoohan dari tetangga dan teman-temannya, karena mau menjadi seorang petani. Maklum, Nurazmi memang memiliki riwayat merantau yang cukup panjang dan termasuk pekerja keras terutama dalam hal mencari ilmu.
Sejak usia 18 tahun Nurazmi pergi ke Semarang dan kuliah di Fakutas Dakwah IAIN Walisongo. Namun, proses belajar di kampus islam milik pemerintah ini tidak berlangsung lama, Nurazmi pindah kuliah ke STISNU Temanggung sambil mondok di Pesantren Sirojul Mukhlas Payaman. Di sinilah Nurazmi mendapatkan tempaan dan ilmu pengetahuan agama yang terbilang cukup untuk dirinya dan keluarganya.
"Pas saya putuskan menjadi petani itu, teman-teman saya ngeledek, karena saya kan sarjana, masa iya jadi petani,?" tutur Nurazmi saat berbincang dengan NU Online, Selasa (28/4).
Nurazmi kembali ke desa tempat ia dilahirkan pada tahun 2000 dan membawa Siyami yang ia nikahi tahun 1998 ke kampungnya. Sejak itu Nurazmi fokus menggarap lahan miliknya seluas 1,5 hektar yang digarap menjadi perkebunan sayuran dan 5 hektar lagi digarap untuk perkebunan karet. Semua itu Nurazmi lakukan agar bisa bertahan hidup dan bisa membiayai istri dan keempat anaknya.
Meski tanahnya tidak begitu luas, Nurazmi merasa puas. Sebab, perkebunan yang dia urus tersebut secara perlahan mencukupi segala kebutuhan Nurazmi
dan keluarga.
"Tahun 2000 saya kembali ke desa. Dan, saya memutuskan untuk menjadi seorang petani. Awalnya tidak langsung jadi petani sayur, saya ikut teman-teman petani di sini menjadi petani karet dan lain-lain. Barulah beberapa tahun ini saya mulai menggarap lahan gambut untuk saya olah jadi lahan perkebunan," lajutnya lagi.
Setelah bertemu dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) tahun 2019 Nurazmi semakin semangat menggarap 1,5 hektar lahan perkebunannya. Menurut pengakuannya, BRG banyak memberikan pelatihan mengelola lahan gambut tanpa bakar dan tanpa kimia.
Dengan metode itu, lanjutnya, tidak banyak modal yang harus dikeluarkan Nurazmi, hasilnya pun semakin sehat dan berkualitas.
Kini masyarakat di Pedekik, hampir semua mengenal Nurazmi, sebagai sosok petani sukses dan berhasil. Teman-teman yang dulu mencemoohnya bahkan sempat mendatangi Nurazmi agar mau diajari menjadi seorang petani yang terampil.
Saat ini, perkebunan milik Nurazmi mengalami perkembangan yang signifikan, Nurazmi mengaku senang dan bahagia karena bisa memanfaatkan lahan yang tidak begitu luas tetapi bisa produktif untuk dia dan keluarganya.
"Pokoknya di lahan gambut 1,5 hektar saya tanami sawi, kangkung, terong. Ada empat varian yang saya kembangkan. Hasilnya saya jual pasar, sekali panen lumayanlah, bisa 250 ribu perkilogram. Apalagi kan modalnya murah karena pupuk bikin sendiri," ucap ayah Pathimahazzahro ini.
Menjadi Dai Gambut dan Konsisten Menjadi Petani
Prestasinya yang dinilai tinggi dan sosoknya yang banyak menginspirasi berbagai kalangan, tahun 2019 BRG mengangkat Nurazmi menjadi salah satu dari Dai Peduli Gambut (DPG). Bersama satu kawannya di Bengkalis, Nurazmi diminta BRG untuk mengajak masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara dibakar dan mengelola lahan gambut menjadi lahan produktif melalui agenda-agenda khusus, sosialisasi kepada masyarakat.
Hanya dengan cara itulah ekosistem gambut dapat pulih kembali sehingga berpengaruh terhadap lingkungan masyarakat yang sehat dan asri. Bermodalkan ilmu agama yang didapatkannya di pesantren, Nurazmi terus mengimbau masyarakat agar tidak merusak alam, sebab hal itu bertentangan dengan nilai ajaran agama Islam.
Bahkan, tahun 2016 Majlis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya bahwa merusak alam termasuk membakar hutan hukumnya adalah haram. Kewajiban menjaga alam tersebut berdasarkan dalil Al-Qur'an surat Ar-Rum [30] ayat 41-42 dan surat Al-A'raf [7] Ayat 56-58 tentang peduli lingkungan.
Selanjutnya, alasan mengapa Nurazmi kosisten menjadi seorang petani. Pertama, didorong oleh sikap dia sebagai umat manusia yang wajib mensykuri pemberian Allah SWT. Alam bagi Nurazmi termasuk lahan gambut, adalah karunia dan nikmat yang diberikan Allah SWT, harus dimanfaatkan dan diolah agar memberikan dampak positif untuk umat manusia dan alam itu sendiri.
"Jadi kita memanfaatkan yang diberikan Allah SWT. Kebanyakan kan orang menganggap lahan gambut tidak bisa diolah. Setelah ikut pelatihan, alhamdulillah banyak kawan-kawan kita sudah mau bergabung dalam kelompok binaan BRG," tuturnya.
Alasan kedua, manusia adalah khalifah di bumi, sebagai khalifah dia wajib mengurus apa-apa yang ada di bumi termasuk alam dan makhluk tuhan lainnya. Karena itu umat manusia harus menjaga seluruh ekosistem alam karena akan banyak manfaat yang didapatkan dari pemeliharaan tersebut. Jika bukan umat manusia, lalu, siapa yang dapat menjaga alam tersebut?
Pertanyaan sepele itulah yang dinilai Nurazmi perlu direnungkan ulang oleh seluruh umat manusia.
"Kedua faktor khalifah fil ardh. Dengan kita merawatnya itu akan berdampak baik untuk ekonomi, sosial. Dampaknya luar biasa, itu motivasi saya," katanya.
Pewarta : Abdul Rahman Ahdori
Editor : Kendi Setiawan