Jakarta, NU Online
Dirinya menjelaskan dalam kacamata psikologi, untuk menumbuhkan semangat patriotisme, ikhlas dan pantang menyerah dalam melakukan upaya bela negara maka seluruh komponen bangsa sudah semestinya untuk belajar dan menghayati betul betul sejarah pembentukan bangsa Indonesia ini yang tidak mudah.
“Karena sesungguhnya secara fisik yang namanya tanah Indonesia itu awalnya tidak ada. Indonesia ini dulu adalah komunitas “yang dibayangkan” (imagined community) yang secara sengaja dibentuk lewat proses sosial politik yang tidak mudah,” kata Guru Besar Psikologi Politik, dari Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk.
Lebih jauh dirinya menceritakan, hal ini terlihat mulai dari sejarah berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Pemuda (yang melahirkan Sumpah Pemuda) yang selanjutnya berproses terus menjadi ‘Indonesia’. Hal tersebut tentunya untuk mengatasi fakta-fakta sosial kongkrit yang sudah ada berates-ratus tahun lamanya seperti masalah suku, agama, kelompok dan daerah-daerah.
“Titik kulminasinya yakni Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Kemudian ada empat konsensus dasar ini yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang memang sudah harga mati dan tidak boleh lagi dipertanyakan. Empat konsensus dasar ini tentunya jangan diubah lagi, tapi bagaimana mengartikan dan mengejawantahkannya (mewujudkan, melaksanakan, memanifestasikan) sesuai jaman boleh saja, dan bahkan harus,” kata pria kelahiran Padang Panjang 31 Maret 1966 ini .
Berangkat dari kesadaran seperti ini ia menyimpulkan bahwa sebenarnya membela negara merupakan hal yang tidak akan pernah berhenti, karena ancaman terhadap empat konsesus dasar tadi selalu ada, baik dari dalam dan dari luar.
“Sekarang kita sudah menerima bentuk ‘fisik’ negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, tapi tetap Plural (Bhinneka Tunggal Ika), harus diterima kenyataan itu. Jadi Indonesia ini harus dipahami sebagai kesinambungan antara aspek masa lalu (keadaan sejarah), masa kini, tantangan kekinian yang harus dijalani, dan harapan ke masa depan,” ujar Hamdi.
Ia mengakui ancaman fisik kolonialisme tidak lagi seperti dulu. Menurutnya, ancaman sekarang justru datang dalam bentuk ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan sebagainya. Untuk itu tantangan sekarang ini adalah bagimana memperkuat diri di dalam dalam seluruh aspek mulai dari kedaultan (militer), keamanan dalam negeri (Polri) serta seluruh sektor ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan sebagainya.
“Dan tentunya masing-masing anak-anak bangsa juga harus ikut berkontribusi sesuai dengan peran dan kemampuannya dalam seluruh sektor tadi dengan memperkuat diri kita sendiri dulu didalam. Baru setelah itu kita bisa punya daya tawar dalam hubungan luar negeri (internasional),” ujarnya.
Tantangan generasi milenial
Generasi milineal sendiri menurutnya harus sadar bahwa mereka punya kreatifitas, daya juang, kemampuan adaptasi yang lebih dari generasi sebelumnya. Potensi yang dimiliki seperti ini tentunya harus dimanfaatkan, jangan dipakai untuk energi negatif, saling mencaci, saling menghujat atau terpengaruh paham radikal terorisme dan sebagainya.
“Generasi milenial harus bisa melakukan apapun, sekecil apapun, sekonkgrit apapun untuk negeri ini. Potensi yang dimiliki sesuai bidang, bakat dan kemampuannya harus dimanfaatkan. Kalau ada yang ahli di bidang saint silahkan tunjukkan. Ada yang ahli di bidang bisnis dan kesenian, tunjukkan. Kalau ada yang ahli di bidang olah raga, tunjukkan kalua bisa meraih prestasi di berbagai ajang,” ucapnya.
“Pemerintah harus memberikan peran lebih banyak kepada generasi mileneal untuk turut menjadi agen sosialisasi pentingnya menghayati sejarah Indonesia, agen untuk mengejawantahkan Pancasila dengan semangat kekinian,” pungkasnya. (Ahmad Rozali)