Nasional ENSIKLOPEDI NU

Bughat

Selasa, 2 Oktober 2012 | 00:30 WIB

Bughot, dalam khazanah fiqih berarti “pemberontakan”. Berasal dari akar kata bagha, yang berarti “melampaui batas”. Bughot dilarang menurut fiqih dan pelakunya harus diperangi. Hal ini berbeda dengan kritik. Kritik adalah bentuk perlawanan, dan tidak semua kritik kepada penguasa merupakan bughat.
<>
Dari sini perlu dibedakan antara kritik dan pemberontakan. Kritik terhadap penguasa adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Banyak sekali hadits yang menyebutkan soal ini, di antaranya: “Seutama-utama jihad adalah menegakkan kalimat haq di hadapan (terhadap) penguasa yang zhalim.” 

Sedangkan yang disebut bughat menurut Khatib Syarbini dalam kitab al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ harus memenuhi tiga syarat: pertama, mereka yang memberontak memiliki kekuatan. Kekuatan ini menyatukan senjata, logistik, massa, wacana, dan sejenisnya. Kedua, mereka keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah. 

Punya kekuatan saja, kalau tidak keluar dari ketaatan terhadap penguasa atau imam yang sah, tidak dikategorikan bughat. Ketiga, mereka menggunakan penafsiran atau ta’wal yang batil. Maksudnya, dalam memerangi imam dan penguasa yang sah mereka menggunakan penafsiran tertentu untuk membenarkannya. 

Sementara penafsiran itu bila diuji secara meyakinkan tidak memiliki validitas yang tepat, bila dipertimbangkan dari sisi kemaslahatan masyarakat, kemungkinan kekacauan, anarki, dan lain-lain.

Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti disebutkan dalam ayat: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’, 4: 59). Di sini ulil amri salah satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya harus ditaati. 

Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.

Beberapa hadits juga menyebutkan prinsip ketaatan ini, di antaranya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi biarpun yang diangkat untuk memerintah kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering.” (HR. Bukhari). 

Hanya saja, juga harus ditegaskan bahwa perintah penguasa tidak boleh ditaati kalau berkaitan dengan kemaksiatan. Ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati.” (HR. Bukhari). Di sinilah kemudian perlunya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kritik, dan nasihat.

Sedangkan perintah memerangi mereka yang memberontak, di antaranya merujuk pada ayat: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat ayat 9).

Dalam sebuah hadits juga disebutkan: “Barang siapa yang mengangkat senjata pada kami, maka dia bukan dari kalangan kami (pengikut Muhammad).” (HR. Muttafaq Alaih). Juga, “Barang siapa yang datang kepadamu, dan persoalanmu berada di tangan seorang yang menghendaki ingkar kepadamu atau memisahkan dari jama’ah, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim).

Meski begitu, tidak semua jenis perlawanan terhadap pemerintah yang sah harus dikategorikan sebagai pemberontak. Ini sudah sangat jelas. Kritik, misalnya, tidak bisa semena-mena dikategorikan sebagai pemberontakan. Kritik harus dipandang sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai amar ma’ruf nahi munkar, kritik bisa juga dalam bentuk sebuah demonstrasi. Contoh dalam tradisi Islam adalah demontsrasi yang berhasil menumbangkan Khalifah Utsman, dan para demonstran mengangkat Imam Ali sebagai khalifah.

Sebagai bentuk amar ma’ruf, kritik dan upaya perbaikan juga harus dilakukan secara berjenjang dan mempertimbangkan posisi: apabila seseorang memiliki kekuasaan, maka ia harus bisa mengubah keadaan dengan kekuasaannya. Bila hanya mampu dengan lisan, maka perbaikan harus dilakukan dengan lisan. Bila hanya mampu dengan doa, maka perbaikan mungkin dilakukan dengan doa. Yang terakhir adalah selemah-lemah iman.

Jadi, sangat jelas bughat hukumnya harus diperangi. Tapi, bughat harus dibedakan dengan kritik dan amar ma’ruf atas penguasa. Dan, kritik sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai bughat sejauh tidak memenuhi tiga syarat di atas. (Nur Kholik Ridwan)