Nasional ANJANGSANA ISLAM NUSANTARA

‘Dimukimkeun’ Cara Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Semai Islam Aswaja

Jumat, 17 Januari 2020 | 09:30 WIB

‘Dimukimkeun’ Cara Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Semai Islam Aswaja

Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Ajengan KH Abdul Aziz Khoer Affandi (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Tak kurang dari 3.000 orang yang terdaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di Jawa Barat, jumlah ini termasuk cukup besar mengingat pesantren yang didirikan oleh Ajengan Khoer Affandi ini hanya mengajarkan pendidikan diniyah saja, tanpa ada sekolah formal sebagaimana pesantren lainnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Ajengan KH Abdul Aziz Khoer Affandi menyampaikan bahwa pondok yang diasuhnya ini memiliki satu tradisi unik, yakni ‘dimukimkeun’.
 
Tradisi ini berlaku bagi sesiapa santri yang sudah menamatkan studinya dan hendak kembali ke masyarakat. Sebelum diterjunkan ke tengah masyarakat, mereka akan lebih dulu dinikahkan oleh sang kiai dengan sesama alumni.

Hal itu disampaikan oleh Ajengan Aziz kepada para pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) saat sowan pada Kamis (16/1) dalam rangka Anjangsana Pesantren di Tatar Sunda.

Tidak hanya itu. Sang pengasuh pun akan menempatkan alumninya itu ke daerah tertentu yang betul-betul membutuhkan kehadiran alumninya untuk menyemai ajaran-ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah sebagaimana yang dititipkan oleh pendirinya.
 
“Nitip aqidah ahlussunnah wal jamaah,” katanya menyampaikan pesan abahnya.

Tak ayal, sudah terdapat ribuan cabang pondok pesantren Miftahul Huda di berbagai penjuru Nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat.

Ajengan Khoer, katanya, mengaji kepada KH Zaenal Musthofa Sukamanah selama empat tahun. Lalu, ia berjualan guna menghidupinya. Namun, suatu ketika, ia bertemu orang yang menyindirnya bahwa jika hidup demikian saja, sama seperti tidak hidup.

Ia pun mulai bercerita kepada anak-anak yang berada di sekitar tempat transit berjualannya, yakni di daerah Manonjaya. Lalu, cerita pun berpindah ke masjid, hingga akhirnya mendirikan pondok pesantren yang saat ini dihuni oleh ribuan orang pada Maret 1967.

Pesantren ini sebagaimana pesantren salaf lainnya, mengajarkan beragam cabang keilmuan agama. Bagi masyarakat umum, tak perlu khawatir tidak mendapatkan ijazah. Pasalnya, pesantren ini sudah disetarakan dengan sekolah formal lainnya.

Huda, sebutan akrab untuk pesantren tersebut, juga sudah membuka Ma’had Aly, sebuah perguruan tinggi khusus santri. Ma’had Ali ini khusus mempelajar akidah Islam dan filsafat. Bagi yang mengaji sampai menamatkan Ma’had Ali, maka santri tersebut setara dengan menamatkan pendidikan tinggi strata satu, studi sarjana.

Para pengajar FIN Unusia itu pun menutup sowan tersebut dengan berziarah ke makam pendiri dan masyayikh Pesantren Miftahul Huda yang berada di komplek pondok.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad