Nasional MUNAS-KONBES NU 2019

Empat Hal yang Terkait dengan Inklusi Sosial

Selasa, 26 Februari 2019 | 12:40 WIB

Kota Banjar, NU Online
Kepala Riset dan Advokasi Lakpesdam PBNU Ufi Ulfiah menjelaskan, inklusi sosial adalah proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas. Sehingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

“Serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok  masyarakat yang bersangkutan,” kata Ufi dalam Halaqah Nasional bertemakan Merumuskan Fiqh Kebahagiaan Menuju Indonesia Inklusif di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Selasa (26/2).

Menurut Ufi, inklusi sosial adalah ‘alat’ yang paling mampu untuk mengidentifikasikan model kesejahteraan, prinsip keadilan sosial, dan martabat manusia. Oleh karenanya, Ufi menyebut kalau ada empat hal penting yang terkait dengan inklusi sosial. Pertama, kemiskinan. Ufi memaparkan, selama ini definisi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki uang sehingga harus didekati dengan memberikan bantuan uang untuk mengentaskannya. 

Sementara dalam kacamata inklusi sosial ‘orang miskin’ bukan satu kelompok yang homogen yang tidak memiliki uang, namun memiliki perbedaan berdasar etnisitas, ras, perbedaan fisik, dan orientasi seksual. 

“Argumen dasarnya adalah perbedaan identitas. Jadi selama ini program kemiskinannya pemerintah tidak pernah berpikir tentang adanya perbedaan identitas pada orang miskin. Inklusi sosial bisa mengidentifikasi itu,” jelasnya. 

Kedua, kesejahteraan. Mengutip UU Nomor 1974 Pasal 2 tentang Kesejahteraan Sosial, Ufi menjelaskan kalau kesejahteraan sosial adalah suatu ata kehidupan dan penghidupan materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin. Yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban sesuai dengan pancasila.

“Inklusi sosial mampu menangkap bahwa ada sumber ketidaksejahteraan yang sangat lama yang menyebabkan kelompok tertentu tidak merasa aman, selamat, tidak mampu menjalankan hak rohaniah oleh sebab perbedaan identitas yang melahirkan pengucilan,” jelasnya. 

“Tidak ada program pemerintah dalam konteks kemiskinan atau kesejahteraan yang menyasar soal itu. Jadi masih mainstream pembangunan manusia yang ekonomic capital,” lanjutnya.

Ketiga, ukuran pembangunan. Ufi menegaskan, inklusi sosial bukan lah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa diukur. Akan tetapi, inklusi sosial bisa dijadikan sebagai alat untuk mengukur kesejahteraan atau kebahagiaan. Baginya, program-program kesejahteraan yang dikembangkan pemerintah seperti KIS, KIP, dan lainnya tidak berhubungan dengan kebahagiaan atau kesejahteraan kelompok minoritas atau masyarakat adat.   

“Karena untuk legalitas saja, kelompok adat tidak bisa. Mereka stateless (tak bernegara) sebenarnya karena tidak diakui,” paparnya. 

Keempat, indikator kebahagiaan. Menurut Ufi, inklusi sosial mampu menangkap sumber eksistensi kemanusiaan yang seharusnya juga dibaca oleh program pembangunan yaitu martabat manusia. Inklusi mampu mengidentifikasi ada proses penyingkiran kemanusiaan yang tidak bisa dibaca oleh model pembangunan yang homogen.

Ufi mengatakan, pemerintah memiliki tiga indikator kebahagiaan. Pertama, kepuasaan hidup misalnya apakah suatu kelompok masyarakat memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kerohaniaannya. Kedua, perasaan misalnya kenyamanan dan kegembiraan warga negara. Ketiga, makna hidup misalnya penerimaan sosial terhadap suatu kelompok komunitas. (Muchlishon)