Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Mukti Ali Qusyairi, dalam sebuah diskusi tentang pesantren. (Foto: FB Mukti All Qusyairi)
Syifa Arrahmah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Mukti Ali Qusyairi menuturkan, prosesi Lebaran Idul Adha tidak boleh hanya dipandang sebagai dimensi ritual tahunan semata. Karena shalat Idul Adha dan kurban memiliki dimensi-dimensi dan makna yang fungsional untuk mewujudkan tujuan pewahyuan risalah keislaman.
“Mungkin sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa shalat Idul Adha harus berjamaah, padahal itu tidak. Karena hukum shalat Idul Adha sendiri adalah sunnah muakkadah, itu menurut pendapat Imam Syafi'i. Jadi, pelaksanaannya boleh dilakukan secara munfarid (sendiri), yakni tidak berjamaah,” kata Kiai Mukti Ali saat dihubungi NU Online lewat sambungan telepon, Jumat (16/7).
Bahkan, kata dia, sebagaimana tertuang dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Bajuri ala Fathil Qarib bahwa tidak ada kewajiban melakukan shalat Idul Adha secara berjamaah di masjid. Apalagi di musim wabah pandemi seperti sekarang kewajiban untuk melaksanakannya di rumah lebih ditekankan sebagai ikhtiar memutus rantai penularan.
“Melakukan shalat Idul Adha di masjid itu lebih utama karena memuliakan masjid, kecuali bila ada udzur (halangan). Nah, sekarang kan udzurnya pandemi, kalau memaksakan untuk kumpul di masjid itu kan bisa bahaya,” katanya lagi.
Sedangkan dalam Qawaid al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih), lanjut dia, bahaya itu harus dihilangkan dan harus dihindari agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Maka, sudah jelas imbauan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI bertujuan untuk mencegah terjadinya kemudaratan.
“Kalau berkumpul kemudian saling menularkan berarti kan membahayakan orang lain dan itu hukumnya haram,” terang kiai muda lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini.
Terlepas dari itu semua, perasaan dilematis tentu akan menyelimuti hati umat muslim mengingat sebelumnya terdapat pula aturan peniadaan shalat Idul Fitri di rumah saja. Namun, menurut kiai Mukti, momentum ini tanpa disadari justru dapat menambah ganjaran pahala bagi yang menaatinya.
“Pertama, shalatnya sah meskipun munfarid. Kemudian dia juga mendapat pahala karena berusaha untuk tidak membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,” tutur Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini.
Secara khusus, Kiai Mukti mengingatkan kembali esensi sebenarnya dari Lebaran adalah memohon ampunan dalam rangka menambah ketaatan kepada Allah SWT. “Jadi, Lebaran itu bukan untuk orang yang memperindah pakaiannya atau kendaraannya, tetapi Lebaran itu untuk orang yang diampuni dosanya,” pungkas pria asal Cirebon ini.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua