Banjar, NU Online
Sidang komisi bahstul masail ad-diniyyah al-maudhuiyyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2019 membahas status non-Muslim di Indonesia. Mereka mencoba mendudukkan status non-Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara dengan merujuk pada literatur klasik keislaman.
Forum ini menyimpulkan setelah melewati diskusi panjang bahwa non-Muslim di Indonesia tidak memenuhi kriteria “kafir” sebagaimana disebutkan dalam fiqih siyasah. Non-Muslim di Indonesia tidak perlu dipaksakan untuk dipadankan dengan kata “kafir” dalam fiqih siyasah karena keduanya memiliki kedudukan berbeda.
Salah seorang peserta sidang komisi bahstul masail al-maudhuiyyah KH Mahbub Maafi menjelaskan bahwa kata “kafir” terdiri atas dua konteks berbeda. Menurutnya, pertama “kafir” dalam konteks aqidah.
“Dalam konteks aqidah, ya tetap seperti itu. Dalam soal waris dan soal lain, ya tetap. Dalam konteks keyakinan, ya mereka tetap kafir dengan segala konsekuensinya itu,” kata Kiai Mahbub kepada NU Online, Jumat (1/3) siang.
Sementara konteks kedua adalah soal muamalah atau bernegara. Menurutnya, dalam konteks bernegara dalam fiqih siyasah itu pembagian kafir terdiri atas empat “kafir”, yaitu kafir muahad, kafir musta'man, kafir dzimmi, dan kafir harbi.
Ia menambahkan, ini pembagian juga dari ijtihad para ulama. Ketika ditarik dalam konteks sekarang, dalam konteks negara bangsa seperti negara Indonesia itu semua itu tidak masuk ke dalam non-Muslim.
“Kafir muahad itu tidak bisa ditarik dalam konteks Indonesia ini karena tidak masuk kriteria. Mau dikatakan kafir dzimmi, siapa yang ngasih dzimmah? Mau dikatakan kafir harbi, mereka tidak masuk karena Indonesia itu adalah didirikan oleh seluruh anak bangsa, bukan hanya Muslim, tetapi juga non-Muslim,” kata Kiai Mahbub.
Non-Muslim di Indonesia tidak bisa disebut sebagai orang “kafir”. Mereka tidak membayar jizyah dan seterusnya itu.
“Ini fakta yang nggak bisa dipungkiri. Jadi mereka berdiri setara. Dalam konteks bernegara, ya mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara lainnya,” katanya.
“Jadi mereka tidak bisa disebut ‘kafir ini’, ‘kafir itu’ karena tidak masuk kriteria pembagian kafir dalam fiqih siyasah itu. Jadi mereka disebut apa? Ya cukup disebut warga negara saja,” kata Kiai Mahbub.
Sementara Sekretaris LBM NU Jatim Ustadz Ahmad Muntaha yang mengikuti forum ini mengatakan bahwa Munas NU 2019 sebenarnya fokus membahas status non-muslim dalam negara bangsa seperti Indonesia.
Dalam forum disepakati, bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara status non-Muslim seperti di Indonesia adalah muwathin atau warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dan setara sebagaimana warga negara lainnya
“Mereka tidak masuk dalam kategori kafir dzimmi, muahad, musta'man, apalagi harbi. Tidak masuk kategori itu dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, namun tetap berstatus kafir,” kata Ustadz Muntaha kepada NU Online, Jumat (1/3) siang.
Ia mengutip Kitab Al-Qunyah dalam Bab Al-Istihlal dan Raddul Mazhalim yang menyebut ungkapan, "Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi, 'Hai kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya).”
Konsekuensinya, pelakunya itu seharusnya ditakzir karena melakukan tindakan yang membuatnya berdosa sebagaimana dikutip dari Kitab Al-Bahrur Raiq, juz V halaman 47).
Ini yang melatari bahwa dalam konteks sosial kemasyarakatan seorang muslim semestisnya tidak memanggil non-Muslim dengan panggilan yang sensitif 'Hai Kafir', seiring dalam ranah akidah Islam tetap mantap menganggap mereka sebagai kafir atau orang yang tidak beriman.
“Ide ini disampaikan oleh delegasi dari PWNU Jawa Timur tepatnya oleh Kiai Muhammad Hamim HR (Hamim Hr) dan disimak secara seksama oleh seluruh musyawirin,” kata Kiai Muntaha. (Alhafiz K)